Cara Islam Cinta Merespon Radikalisme
Rabiah al-Adawiyah, sufi perempuan pengusung mazhab cinta, pernah menggugat surga. Dia memproklamirkan diri sebagai seorang yang tidak butuh surga, yang dibutuhkan olehnya adalah penerimaan sang kekasih atas cintanya dan yang diharapkan olehnya adalah cinta sang kekasih kepadanya. Siapakah sang kekasih Rabiah? Sang kekasihnya adalah “Allah!”
Lalu, para ulama mencoba tahu apa yang dikehendai Rabiah, menampik surga dan berharap cintanya Allah saja. Sebagian ulama husnu al-dzhan (berbaik sangka) bahwa ucapan Rabiah adalah sejenis syathahat, seorang sufi yang sedang ekstase dan mambok kepayang pada kekasihnya, Allah, sehingga melupakan dan menghapus selain-Nya.
Namun, ada yang menarik yang saya temukan dalam kitab “al-Hikmah al-Khalidah”, karya Ibnu Miskawaih (teosuf Islam klasik setelah Rabiah). Dikatakan dalam kitab itu; “Surga adalah hijab (penghalang) yang paling besar bagi ‘arifin (para bijak bestari).” Ditanya kenapa? Ibnu Miskawaih menjawabnya; “Karena orang yang terpesona dengan surga sering kali sibuk dengan mengejar surga meski dengan berbuat kerusakan dan melupakan Allah. Ini adalah musibah besar!”.
Ujaran Rabi’ah kalau ditafsirkan dengan menggunakan pandangan Ibnu Miskawaih, maka ujaran Rabi’ah bukanlah syathahat yang diujarkan dalam keadaan tidak sadar, melainkan malahan justru diujarkan dalam keadaan dan diperjelas oleh Ibnu Miskawaih itu relevan dengan fenomena radikalisme dan terorisme. Para teroris yang melakukan berbagai cara, bom bunuh diri dan lain-lain, demi mendapatkan surga dan bidadari yang ada di dalamnya.
Mereka menyebut dirinya sebagai “pengantin”, karena dengan mati bunuh diri maka dia akan segera menjadi pengantin berdampingan dengan bidadari yang sudah menunggunya di surga. Subhanallah, ucapan sang sufi yang mewanti-wanti agar jangan sampai terpesona surga dan melupakan Allah, karena ternyata dampaknya sangat mengerikan sebagaimana para teroris dan radikalis itu; demi surga membunuh dan merusak.
Kata Ibnu Miskawaih, “Ini adalah musbiah al-kubra (musibah besar!).” Sebab itu, Hasan al-Bashri, sufi senior, mengatakan, adalah dosa bagi siapa saja yang mencari surga dengan tanpa melakukan amal shaleh individual dan shaleh sosial, shaleh vertikal dan shaleh horizontal.
Kelompok radikal di setiap periode dalam peradaban Islam selalu ada, meski tergolong sebagai kelompok minoritas. Pada masa sahabat terdapat golongan radikal yaitu Khawarij. Pada masa Abu Hamid al-Ghazali, sang raksasa sufi Sunni, disebutkan dalam salah satu kitabnya “Musykat al-Anwar”, terdapat kelompok radikal yang disebut dengan Hawasyiyah. Hawasyi artinya pinggiran.
Mereka disebut Hawasyi karena diposisikan oleh umat Islam pada umumnya sebagai kelompok pinggiran yang tidak mewakili maenstream umat Islam. Kalau meminjam istilah Gus Dur, mereka adalah ‘kelompok sempalan’, sempalan artinya seperti ranting yang menyempal (memisah/ mengucilkan diri) dari batang pohonnya.
Di masa Abdul Wahab al-Sya’rani, sang sufi kenamaan Mesir, dia menyebutkan dalam salah satu kitabnya “al-Mizan al-Kubra”, pada masanya di Mesir terdapat golongan yang berpandangan tasydid (keras), dan mereka disebut sebagai mutasyaddidun (golongan yang keras atau ekstrim). Al-Sya’rani dalam menyeleksi pendapat-pendapat yang berkembang pada masanya dengan kategorisasi yang berbeda dengan kategorisasi yang digunakan oleh ulama fikih.
Kalau ulama fikih menggunakan kategorisasi qaul mu’tamad (pendapat yang bisa dijadikan pegangan), qaul shahih, qaul ashah, qaul rajih, qaul marjuh, qaul dha’if (lemah), dan qiyla (katanya). Sedangkan al-Sya’rani menggunakan kategorisasi qaul al-tasydid (pendapat yang keras) dan qaul tahfif (pendapat yang ringan). [bersambung]