Ketika Semangat Beragama tak Sejalan dengan Kualitas Pengetahuan di Kepala

Ketika Semangat Beragama tak Sejalan dengan Kualitas Pengetahuan di Kepala

Semangat beragama yang tinggi harus dibarengi dengan pengetahun dan isi kepala yang memadai

Ketika Semangat Beragama tak Sejalan dengan Kualitas Pengetahuan di Kepala
kamu sering ditanya, agamamu apa? Nah loh…

Akhir-akhir ini, kita semua dapat melihat semangat beragama umat islam begitu luar biasa. Beberapa kelompok tidak ragu memperjuangkan islam dengan seluruh daya dan upayanya. Bahkan, demi membela agama islam, mereka siap berperang melawan siapa pun yang melawan agama. Bersimbah darah seolah menjadi harga yang murah.

Namun yang disayangkan, gairah beragama tersebut seringkali timpang jika dibandingkan pengetahuan yang dimiliki. Alih-alih mendekatkan diri dengan Allah SWT banyak orang melakukan ibadah yang –karena tidak didasari dengan pengetahuan yang cukup- justru menjauhkan diri dari-Nya.

Contoh kecil bisa kita saksikan dalam ritual ibadah haji. Para jamaah yang ingin mencium hajar aswad yang hukumnya “hanya” sunah, rela berdesakan dan saling sikut dengan saudaranya yang jelas hukumnya haram.

Lebih jauh, gairah beragama yang tidak diimbangi dengan pengetahuan dapat membahayakan umat lain. Pemahaman takfiri yang diartikan begitu sempit, acapkali digunakan sebagai dalil legalitas untuk menumpas darah kaum muslim yang tidak sepaham. Kita juga menyaksikan dengan terang benderang bagaimana ISIS yang gagal memahami makna jihad membuat negara suriah hancur berantakan.

Habib abdullah bin alawi al-haddad dalam risalah al-muawanah mengatakan:

(وَاعْلَمْ) أَنَّ مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ الضَّرَرُ العَائِدُ عَلَيْهِ بِسَبَبِ عِبَادَتِهِ أَكْثَرَ مِنَ النَّفْعِ الحَاصِلِ لَهُ بِهَا، وَكَمْ مِنْ عَابِدٍ قَدْ أَتْعَبَ نَفْسَهُ فِي العِبَادَةِ وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ مُصِرٌّ عَلَى مَعْصِيَةٍ يَرَى أَنَّهَا طَاعَةٌ أَوْ أَنَّهَا غَيْرُ مَعْصِيَةٍ

“Dampak buruk seorang yang beribadah kepada Allah SWT. tanpa disertai ilmu, jauh lebih banyak dari manfaat yang dihasilkan. Banyak orang beribadah dengan menguras tenaganya, namun ia  justru melakukan kemaksiatan yang ia kira sebuah ketaatan.”

Beliau lalu bercerita tentang seorang lelaki yang dalam kesehariaannya sangat rajin melakukan ibadah. Salat malam, puasa sunah, dan dzikir tak pernah luput ia lakukan. Bahkan ia tak sempat berpikir untuk meminang seorang istri dan membangun keluarga.

Suatu hari ia membeli seekor himar betina. Anehnya, himar tersebut tak pernah ia gunakan sebagai kendaraan ataupun diternak. Ketika ditanya mengenai hal itu, ia mengatakan, “Aku ini lelaki yang tidak beristri. Jadi setiap hasrat lelakiku tak bisa kutahan, aku melampiaskannya pada himar ini. Karena itulah aku membelinya.” Rupanya lelaki dalam tokoh cerita kita ini tidak tahu bahwa mengawini hewan hukumnya haram.

Ketika diberitahu, ia spontan menangis sejadi-jadinya dan bertaubat.

Waba’du, gairah beragama yang besar jika dibimbing dengan pengetahuan yang baik akan menelurkan seorang generasi muslim yang cerdas dan militan. Sedangkan gairah beragama yang tidak didasari pengetahuan, dan tak jarang bercampur dengan emosi pribadi, kerap membuat seorang kalap dan berbuat hal haram.

Dalam suatu perang, Sayyidina Ali berhasil memukul jatuh salah seorang musuh. Ketika beliau menghunus pedang hendak membunuhnya, musuh tersebut meludahi wajah sayyidina Ali. Spontan sayyidina Ali meninggalkan musuh tersebut dan tidak jadi membunuhnya. Ketika sahabat bertanya tentang sikap beliau, beliau menjawab, “Sebelum ia meludahiku, aku membunuhnya karena Allah Swt. Namun ketika ia meludahiku, emosiku muncul. Aku khawatir nanti aku membunuhnya karena emosiku sendiri, bukan karena Allah Swt.”

Sayyidina Ali -yang berjuluk gerbang ilmu- dengan pengetahuannya yang mendalam, tahu betul bagaimana membedakan kepentingan agama dan pribadi. Bagaimana dengan kita?

Wallahu a’lam.