Ketika Segala Urusan Diselesaikan dengan Ilmu Agama yang Politis

Ketika Segala Urusan Diselesaikan dengan Ilmu Agama yang Politis

Tidak semua harus diselesaikan dengan agama, apalagi yang sifatnya politik

Ketika Segala Urusan Diselesaikan dengan Ilmu Agama yang Politis
Para peternak politik memanfaatkan segala hal demi kepentingannya. Pict by Nurul Huda

Islam sebagai agama yang menyeluruh (kaffah) merupakan pernyataan yang tidak terbantahkan. Meskipun demikian, ada banyak uraian dalam agama Islam yang perlu dijelaskan melalui proses bacaan dan riset mendalam. Ini karena, membicarakan dan mempraktikan Islam, baik dari sumber Alquran dan Sunnah, tidak bisa dimaknai secara harfiah, melainkan perlu konteks yang jauh lebih mendalam dengan penguasaan khazanah dalam tradisi Islam, mulai dari fiqh, usul fiqh, tafsir, hingga sejarah dan konteks sosial di dalam Islam. Apalagi, jarak tahun hidup antara Rasulullah dan saat ini terbentang jauh. Begitu juga dengan letak geografis yang berbeda antara Timur Tengah dan Indonesia yang berdampak terhadap perbedaan bahasa, sosial, budaya, dan politik.

hanya dipahami sepenggal, sumber-sumber Islam tersebut bisa dimaknai secara salah. Memang, kesalahan dalam menafsirkan itu merupakan proses ijtihad yang mendapatkan pahala bagi orang yang melakukannya. Yang dikhawatirkan justru saat sumber-sumber utama Islam itu justru diplintir untuk kepentingan predator politik.

Dua contoh yang terjadi akhir-akhir ini bisa dijadikan contoh bagaimana proses pemelintiran itu terjadi. Pertama, dukungan Tuan Guru Bajang (TGB) kepada Jokowi. Sebelumnya, dalam Pilpres 2014, TGB merupakan bagian tim kampanye pemenangan Prabowo di wilayah Nusa Tenggara Barat. Karena bagian dari kubu Prabowo, TGB sempat dielu-elukan sebagai calon presiden berikutnya, penantang kuat Jokowi dalam Pilpres 2019. Melihat tidak ada dukungan dari partai Demokrat, di mana Soesilo Bambang Yudhono lebih mementingkan anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono, untuk diusung menjadi calon presiden ataupun wakil presiden, TGB pun banting stir, ia mendukung Jokowi.

Pujian yang begitu berlimpah dari kubu pendukung Prabowo ataupun orang yang tidak suka terhadap Jokowi begitu marah, berimbas kepada kritik dan sejumlah makian di media sosial yang dituduhkan kepadanya. Lebih mengenaskan, saat terjadinya gempa di Lombok, bukannya melakukan proses empati dengan menggalang dukungan, bencana alam itu kemudian dikaitkan karena dukungan TGB ke Jokowi.

Di sini, Allah dianggap murka kepada TGB sehingga memberikan bencana kepada masyarakat Lombok. Padahal, proses terjadinya gempa lebih terkait dengan bencana alam, terjadi proses pergeseran lempeng-lempeng tektonik di dalam perut bumi. NTB adalah salah satu wilayah di Indonesia yang dilewati oleh lempengan tersebut.

Kedua, pilihan pemimpin Islami. Alih-alih melihat substansi Islam dalam melihat kepemimpinan yang dipraktikkan baginda Rasulullah dengan melihat empat karakter; benar (shiddiq), dapat dipercaya (amanah), menyampaikan (tabligh), dan pintar serta bijaksana (fathonah), yang terjadi, di tengah sentimen keagamaan yang begitu kuat, partai Gerindra kemudian mengajukan Ustadz Abdul Shomad sebagai Calon Wakil Presiden. Ada juga yang mengajukannya sebagai Calon Presiden.

Sebagai juru dakwah tentu saja ia memahami dan memiliki sejumlah otoritas keagamaan untuk disampaikan kepada umat. Namun bagaimana pengalaman kepemimpinan sebelumnya? Apakah ia cukup pintar menyelesaikan persoalan kebangsaan yang membutuhkan kemampuan teknokrasi dalam membangun negara?

Mengajukannya sebagai pemimpin negara tanpa ada pengalaman kepemimpinan sebelumnya, baik organisasi, perusahaan, ataupun institusi negara justru akan mencelakai dirinya, berakibat pada buruknya citra Islam ke depan. Terlihat kesan, tawaran Abdul Shomad sebagai pendamping Prabowo itu sekedar untuk mendulang suara dengan memanfaatkan sentimen Islam tanpa melihat lebih jauh rekam jejak dari sosok yang dicalonkan tersebut.

Dalam hal ini, saya setuju dengan pendapat Azyumardi Azra, yang mengemukakan bahwa persoalan negara tidak bisa hanya diselesaikan oleh ilmu agama, lebih khususnya fiqh. Pernyataan itu diungkapkannya dalam konteks perekonomian Indonesia yang sedang mengalami fase berat. Baginya, yang dibutuhkan justru kemampuan-kemampuan teknokrat yang mengerti dengan detail dunia perekonomian baik pada level makro ataupun mikro.

Dari dua kubu, baik Jokowi ataupun Prabowo tidak memiliki figur representasi Islam sekaligus memahami detail kerja-kerja teknokrasi ekonomi (www.tempo.co, 6 Agustus 2018). Di tengah ketiadaan itulah, bagi saya, memilih calon wakil presiden dengan memilih teknorat dalam bidang yang mempuni tersebut merupakan sebuah keharusan untuk kebaikan Indonesia ke depan, ketimbang mengerti ilmu agama, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengangkat perekonomian Indonesia ke depan.

Di sisi lain, politisasi agama dalam politik elektoral sudah ada contohnya, yaitu Pilkada DKI Jakarta, dengan terpilihnya Anies-Sandi. Kecuali warisan-warisan kepemimpinan Jokowi dan Ahok, hampir setahun menjabat, belum ada prestasi signifikan atas pembangunan infrastruktur di Jakarta. Sebaliknya, atas nama membela rakyat, justru yang terjadi adalah kesemrawutan. Penggunaan jalan kaki di wilayah sekitaran tanah abang yang kemudian ditutup dan diperuntukkan oleh pedagang kaki lima merupakan contoh bagaimana mewariskan tradisi kerja kepemimpinan yang baik sebelumnya, hal itu tidak bisa dilakukan oleh Anies-Sandi. Setelah kesemrawutan dan berakibat buruk serta disomasi oleh sejumlah pihak, barulah mereka berdua kemudian mencoba mengikuti pola aturan yang sudah dibangun sebelumnya di era Jokowi dan Ahok.

Bertolak dari tiga contoh di atas, mempraktikan Islam secara kaffah dalam pelbagai hal itu penting. Meskipun demikian, kehati-hatian dalam menyikapi setiap isu yang datang juga kewajiban yang jauh lebih penting. Ini karena, kita sudah memasuki tahun politik elektoral, menjelang Pemilihan Presiden. Di tengah Islamisasi ruang publik yang begitu menguat dan strategi predator politik memainkan isu sara, agama kemudian menjadi sangat mudah terjatuh dalam politisasi dan pemelintiran.

Jika isu ini dimainkan dan kemudian terbukti ampuh, hal itu tidak hanya mencelakai satu individu, melainkan juga negara Indonesia secara keseluruhan karena memilih orang-orang yang salah dan tidak mencerminkan bagaimana mereka membangun Indonesia menuju baldatun toyyibatu wa rabbun ghofur; negeri yang baik dan dilimpahi ampunan oleh Allah yang Maha Pengampun.