Kitab kuning mengalami proses produksi dan percetakan yang berulang-ulang. Dari mulai salinan tulisan tangan, sampai diproduksi oleh mesin cetak (komputer/proses digital). Kemungkinan terdapat perbedaan—dengan tidak mengatakan kesalahan—dalam menuliskan redaksi, tentu bukan sebuah kemustahilan.
Lalu, bagaimana sikap santri disaat menemukan perbedaan redaksi, yang dianggap janggal? Menurut pengalamam penulis sebagai santri di beberapa pondok pesantren, ketika ditemukan hal tersebut, redaksi yang dianggap janggal tidak serta merta dicoret dan diganti dengan redaksi yang dinggap lebih tepat. Tradisi pesantren justru membiarkan redaksi tersebut, namun dengan memberikan sebuah tanda, dan catatan singkat.
Misalnya dalam kitab ini, bab ini, halaman sekian tertulis kharaja, namun setelah dikaji, dan dengan pegangan pengajian dari kiyai atau ustad yang mengajarkan kitab tersebut, yang lebih tepat adalah khurujun. Santri tidak langsung mengganti redaksi tersebut, namun diberi tanda, dan membuat cacatan dipinggiran kitab: la’allahu bi al-sawab “khurujun” (ada kemungkinan redaksi yang benar adalah kata “khurujun”).
Penulis sendiri tidak tahu, dari siapa, dan mulai kapan tradisi tersebut diberlakukan. Namun, kalau menelaah beberapa kitab kuning, seperti kitab Fathul Qorib, kita akan menemukan adanya usaha dari musonnif (pengarang kitab) menampilkan beberapa redaksi yang berbeda, tanpa menghapus redaksi yang ada. Dari sini tampaknya ada benang merah antara sikap santri saat menemukan redaksi yang janggal, dan sikap para ulama’ terdahulu dalam menampilkan varian redaksi dalam kitab kuning. Walaupun kemungkinan titik temu ini belum bisa dipastikan dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Etika Kritik Santri
Penulis memahami tradisi di atas sebagai bentuk dari sikap kritis. Namun kritis yang tetap menjaga etika dan kehati-hatian. Seperti sikap memilih memberi catatan, tanpa menghapus redaksi yang tertulis, ada kemungkinan sebagai simbol keengganan memutlakkan pendapat. Sikap tersebut tampaknya juga memiliki akar yang kuat dalam tradisi kitab kuning, sebagaimana kita temukan dalam salah satu dawuh Imam Asy-Syafi’i: “Pendapatku benar, tapi bisa mengandung kemungkinan salah. Pendapat orang lain salah, tapi bisa mengandung kemungkinan benar”
Tradisi kritis dalam dunia kitab kuning banyak contohnya dalam berbagai kitab dan bidang keilmuan. Misalnya dalam kitab Fathul Majid, yang ditulis oleh Kiyai Nawawi Banten sebagai penjelasan dari kitab Durrul Farid fi Aqoid Ahli al-Tauhid karya Syeh Ahmad An-Nahrowi, digambarkan bagaimana terjadi perdebatan pendapat terkait apakah wujud itu sifat, atau ain al-dzat. Beberapa ulama berpendapat bahwa wujud adalah sifat, dan tidak setuju dengan pendapat ulama lain yang mengatakan bahwa wujud adalah ain al-dzat. Namun beberapa ulama tersebut tetap menjaga etika dan berhati-hati, dengan cara melakukan takwil terhadap pendapat ulama yang secara lahir mengatakan bahwa wujud itu ain al-dzat.
Tradisi kritis kitab kuning, selain dalam argumentasi, juga dalam penyusunan kalimat. Misalnya dalam Kitab Fathul Wahhab, penjelasan kitab Minhaj al-Tulab yang ditulis oleh Syeh Zakaria al-Ansori, terdapat beberapa penjelasan bahwa redaksi yang digunakan oleh beliau, menurut beliau, lebih utama daripada redaksi yang digunakan dalam kitab Minhaj al-Tholibin yang ditulis oleh pendahulunya, Imam Nawawi. Contoh lain bisa kita lihat pada kitab Syarah al-Hikam yang ditulis oleh Imam Asy-Syarqowi sebagai penjelasan kitab al–Hikam karya Syeh Ibnu Athoillah. Imam Asy-Syarqowi beberapa kali mengusulkan redaksi yang menurutnya lebih utama dari pada redaksi al-Hikam, dengan kalimat yang tetap menjaga kesopanan tentunya.
Begitulah sikap santri ketika menemui redaksi yang kejanggalan dalam kitab kuning, yang ternyata ada kemungkinan memiliki akar kuat dalam tradisi kitab kuning (turats). Dan satu lagi, sikap kritis dalam tradisi kitab kuning juga bukan kritis yang asal kritis, namun kritis yang berlandaskan berbagai bidang keilmuan dan argumen yang kuat. Bahkan juga didasarkan pada pengamalan ilmu, sebagaimana tercermin pada dawuh Imam al-Ghazali dalam kitab Bidayah al-Hidayah: “Ilmu tanpa amal, laksana pohon tak berbuah”. Dengan ini, stereotip bahwa pesantren menumpulkan daya kritis, tentu perlu ditinjau ulang. Wallahhu a’lam.
Zaim Ahya, penulis adalah pegiat di islami institute Jogja, alumni UIN Walisongo Semarang.