Ketika Santri Melawan Latensi Kebohongan Publik (Hoaks)

Ketika Santri Melawan Latensi Kebohongan Publik (Hoaks)

Ketika Santri Melawan Latensi Kebohongan Publik (Hoaks)

Kemajuan teknologi informasi membuka lebar ruang replikasi informasi. Sirkulasi informasi yang terus-menerus bertambah dimensi dan kuantitasnya merupakan keuntungan dan kelengahan dalam satu waktu. Seperti hologram, sifat informasi berubah menjadi  ambigu.

Perubahan jenis berita dan resonansi pangsa yang disasar membuat peluang berita faktual dengan berita hoaks menjadi samar. Terutama, penyebab kesamaran wajahnya karena minimnya kekuatan literasi kita.

Demikian pula dengan kontestasi otoritas media, ia secara eksplisit sangat erat bersinggungan dengan deru kontestasi elite politik negeri ini. Urgensi otoritas—dalam hal ini otoritas informasi—melalui pembangunan narasi subjektif sedemikian berpengaruhnya dalam membentuk pandangan publik terhadap orkestrasi isu dan wacana yang sedang didengungkan.

Seperti apa yang sudah terjadi ketika kontestasi politik di sepanjang tahun 2019 silam. Serentetan kasus demi kasus hoaks begitu mengusik ketenangan masyarakat. Bahkan tidak sedikit kasus hoaks yang sengaja diturunkan untuk ihwal provokasi belaka.

Salah satu motif terdepan yang menyebabkan hoaks muncul dan marak adalah faktor ‘pemenangan’. Belakangan, motif itu dimanfaatkan sebagai peluang untuk bermain secara ‘srampangan’ dengan cara mengkerdilkan satu pihak dan mengunggulkan pihaknya sendiri, seperti domba-domba pengusik peradaban.

Hoaks (al-ifk) dalam cara apapun bukanlah cara cerdas. Ia lebih mengantarkan kita pada latensi kebohongan publik yang pada titik terparahnya sangat rentan menyulut sumbu perpecahan.

Sebut saja peristiwa perobekan bendera Merah Putih oleh mahasiswa Papua di Surabaya Agustus 2019 silam. Di mana peristiwa ini menyulut konflik nasionalisme dan isu rasial yang kemudian berujung pada perdebatan vital perihal referendum Papua atas Negara Indonesia.

Selain itu, sasaran hoaks kini tidak pandang bulu. Bisa pejabat publik, kelompok tertentu hingga kiai pesantren.

Seperti kasus hoaks yang disasarkan pada KH.R.M. Najib Abdul Qodir, yang juga merupakan kiai saya. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir yang mashur dengan keilmuan Alqurannya itu pernah diberitakan secara tidak benar oleh JPNN.com (5/10/2018). Pemberitaan ini masih tidak jauh dari ‘gerahnya’ kontestasi politik di sepanjang tahun 2019 silam.

Dalam berita itu ditulis demikian “Mustasyar atau penasehat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Najib Abdul Qodir mengultimatum Presiden Joko Widodo, terkait kepastian menggaet Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai calon Wakil Presiden.”

Perkataan yang tidak benar itu masih diimbuhi dengan pernyataan lain yang sangat tidak sejalan dengan akhlak dan kesantunan beliau. JPPN.com menulis pernyataan lain dengan masih menyebut Kiai Najib, “Memberi deadline kepada Jokowi dalam dua hari. Kalau tidak jelas, maka kami (NU) bikin poros baru.”

Tentu pernyataan ini tidak benar. Lantas, Kiai Najib menandatangi surat klarifikasi yang mencatut nama beliau yang berisi dua tuntutan; pertama, tidaklah benar kami menjabat Mustasyar atau Penasihat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), melainkan Rois Syuriah PBNU. Kedua, tidaklah benar kami pernah mengeluarkan statement “Memberi deadline kepada Jokowi dalam dua hari. Kalau tidak jelas, maka kami (NU) bikin poros baru.” Adapun tuntutan yang lain berkaitan dengan himbauan supaya pihak JPNN meralat atau menghapus isi berita hoaks tersebut.

Di samping itu, berita hoaks tersebut mendapatkan respon yang luar biasa dari seluruh santri di berbagai daerah, terutama santri Krapyak.

Para santri sangat geram ketika kiainya seolah-olah dipermainkan. Pada saat itu juga, saya mencoba menghubungi beberapa kolega yang memiliki kanal berita untuk menyebarkan surat keberatan yang bersifat klarifikasi tersebut.

Adapun usaha lain yang bertujuan untuk menghentikan peredaran berita hoaks itu kami mencoba membuat gerakan “tweet berjama’ah” dengan tagar #santrilawanhoaks dengan harapan dapat menjadi trending di Twitter.

Meskipun usaha perlawanan itu hanya sampai di peringkat 5 trending Indonesia dan kurang memberikan efek jerah kepada pihak terkait, akan tetapi dari peristiwa ini membuktikan jika para santri sangat menentang pemberitaan tidak benar tersebut.

Fakta menarik dari peristiwa memalukan dan memilukan ini adalah hoaks disasarkan pada seorang ulama ahli al-Qur’an yang mengasuh pondok pesantren al-Qur’an. Sebab itu pula yang memantik Kiai Pengasuh Ponpes Nurul Ummahat Yogyakarta, KH Abdul Muhaimin menyebut hoaks ini sebagai “hoaks kubro”.

Dari peristiwa itu, saya menilai hoaks semakin brutal. Karena itu, perang melawan hoaks tidak hanya soal akal sehat, tetapi juga terkait dengan ketangkasan teknologi, ketegasan hukum, dan kecerdasan para aparat penegak hukum.

Gejala ini menjadi sebuah fakta yang melenakkan, bahwa orkestrasi berita-berita yang sungsang alias hoaks digemari secara kalap tanpa refleksi kritis apalagi tabayun seperti telah menjadi konsumsi sehari-hari. Oleh sebab itu, Membangun peradaban berbasis etika dan pengetahuan tampaknya saat ini menjadi kebutuhan mendesak.

Pengabulan opini secara lanyah dan terus-menerus direplikasi mengamini gejala era pasca kebenaran (Post-Truth Era), di mana otoritas menjadi barang mahal dan sangat mungkin secara sengaja dikaburkan.

Ruang publik Muslim baru (New Muslim Public Sphere) yang semestinya didekorasi oleh kemampuan inteligensia manusia kini mulai merekah sebab ulah para kurcaci peradaban yang tak terkendali. Ironisnya, egoism itu hanya akan menghasilkan artikulasi peradaban kebahasaan yang lemah, monoton, sangat standar, dan tidak taat etika yang ditularkan lewat perbincangan tak berujung.