Alih-alih hanya saling bertukar kata seperti lazimnya dialog antar agama, kami memilih menggunakan metode yang asyik saat belajar bersama dengan teman-teman dari SMA de Britto Yogyakarta. Kami mengunjungi SMA de Britto dengan membawa board game yang telah kami, santri SMA Bumi Cendekia, buat.
Kami memiliki tiga board game yang siap dimainkan. Tiga game board ini punya satu topik besar yang sama: keberagaman agama di Indonesia dan dunia. Beberapa materi yang didiskusikan dalam game board antara lain, hari raya di setiap agama-agama, dan tradisi yang menjadi kebiasaan para penganut agama.
Meski sudah membaca dan mendengar mengenai SMA de Britto, sebuah SMA Katolik di bawah Yayasan de Britto yang dikelola para Serikat Jesuit, tetap saja hati terasa ded-degan, atau mungkin lebih tepatnya penasaran. Sampai di sekolah itu, langsung disambut penampilan-penampilan siswa de Britto yang menarik. Mereka populer di kalangan anak-anak muda. Penampilan para siswanya yang berbeda, dari rambut yang gondrong hingga kribo. Seragam sekolahnya pun dibebaskan, kecuali hari Senin mereka menggunakan seragam OSIS. SMA de Britto itu merupakan sekolah khusus laki-laki.
Di pintu masuk terlihat tulisan “Jadilah Terang”. Ini kutipan Kitab Perjanjian Lama, yang berbunyi, “Berfirmanlah Allah: ‘jadilah terang.’ Lalu terang itu jadi.” (Kejadian 1:3). Sebuah ayat yang seolah menjadi semboyan sekolah ini, menggambarkan murid-murid yang belajar di sini. Sebagaimana Allah yang menciptakan terang, menciptakan kebaikan, dan kuasa Allah mengusir kegelapan, kejahatan. Allah menciptakan Terang, sebelum Ia menciptakan manusia.
Nah, ketika sampaidi taman yang dikelilingi ruang-ruang kelas, mata saya terpaku pada patung yang belakangan saya tahu bernama Santo Johanes De Britto. Di bawah patung tersebut ada pasir bernoda darah Santo Johanes De Britto sendiri. Darah tersebut dibawa langsung dari India tempat eksekusi mati Santo Johanes De Britto oleh Raja India karena menyebarkan agama Katolik. Konon darah itu tidak pernah hilang, dan bahkan semakin menyebar. Keberadaan patung ini memang sebagai bentuk pengenangan terhadap Santo Johanes De Britto yang ajaran-ajarannya menjadi pondasi berdirinya SMA de Britto.
Belajar bersama menggunakan board game akan berlangsung di ruang Audio Visual II. Meski begitu, sebelum kegiatan berlangsung, tetap saja wajib dimulai dengan saling berkenalan, antara kami santri Bumi Cendekia dan de Britto. Jangan berpikir perkenalan ini membosankan, tidak sama sekali. Perkenalan ini sangat asyik karena menggunakan metode mini games.
Waktu terus berjalan, shalat Ahsar pun tiba. Kami santri SMA Bumi Cendekia meminta izin dengan pihak De Britto untuk melaksanakan shalat. Mereka mempersilahkan kami dengan sukarela. Teman-teman de Britto dengan senang menunggu kami usai beribadah. Mereka bahkan telah mempersiapkan tempat wudu dan tempat shalatnya.
Usai shalat, acara kembali berlanjut dengan bermain board game. Seluruh peserta dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan board game yang tersedia. Melalui board game ini, peserta kegiatan bisa banyak mengambil pelajaran, misalnya, bagaimana cara menyampaikan pendapat agar tidak ada yang tersinggung.
Dalam permainan ini peserta juga mempelajari cara bersikap sopan dan berbagi pengalaman. Pengalam interaksi ini semakin menarik, sebab dapat bermain dengan orang yang berbeda agama dan berlatar belakang sosial yang berbeda-beda.
Kami ingin menunjukkan bahwa Islam itu agama yang baik, sopan dari segi omongan dan tindakan. Kita juga menerapkan cara beradab dengan baik yang telah diajarkan di pesantren Bumi Cendekia. Sama halnya dengan siswa De Britto, mereka juga menerapkan ajaran sekolah agama dan kepercayaan mereka. Saling menghargai antar umat beragama adalah satu hal penting yang kami pelajari di sana.
Tampaknya semangat untuk menunjukkan nilai-nilai yang diajarkan agama masing-masing begitu terlihat. Semua siswa hendak mencontohkan ajaran agama masing-masing yang mendorong umatnya bersikap baik kepada sesama. Jelas sekali bagaimana dua kelompok kaum muda beda agama ini saling menghargai, agar tidak ada perselisihan atau permasalahan dalam keberlangsungan hidup beragama.
Dalam sesi penutupan, kami meminta perwakilan dari siswa De Britto untuk memberi pesan, pelajaran, atau pelajaran yang dia dapat setelah bermain board game dengan teman lintas iman.
Oddie, seorang siswa de Britto menyampaikan refleksi dan pembelajaran yang didapatnya selama belajar bersama. Ia mengaku merasa senang bisa bertemu dengan teman-teman Bumi Cendekia. Pertemuan dengan teman-teman yang berlatar belakang beda, tetapi tetap bisa bergembira bersama, dan sama-sama memahami joke-joke anak muda.
“Yang saya pelajari adalah masalah cara pandang aja sih, kalau kita bisa memaklumi dan bisa menerima perbedaan, walaupun entah itu perbedaan agama, suku, dan atau apapun itu. Overall, dah bagus sih. Udah menarik-menarik gamenya, temen-temen di sini juga udah asik-asik semua yang dari Bumi Cendekia. Thank you,” tutur Oddie.
(AN)