Ketika Salafi Berlari dan Muhammadiyah-NU Berusaha Mengejarnya

Ketika Salafi Berlari dan Muhammadiyah-NU Berusaha Mengejarnya

Bagaimana metode dakwah Muhammadiyah dan NU ternyata kalah oleh Salafi, tapi benarkah demikian?

Ketika Salafi Berlari dan Muhammadiyah-NU Berusaha Mengejarnya
Seorang penganut salafi di Mesir sedang memegang salinan konsitusi baru negaranya. Photo by AP

Anak muda itu bernama Dimas Wibisono. Bersama temannya, Hendra Bayu, dia mendirikan satu komunitas hijrah bernama ‘Terang Jakarta’. Siapakah Dimas Wibisono? Pemuda asal Surabaya yang tinggal di Jakarta ini adalah tipikal anak muda kota yang suka pesta dan hura-hura. Dia adalah salah seorang raver di Jakarta.

Raver adalah sebutan orang yang suka menghadiri rave party atau pesta rave. Rave (radical audio visual experience) adalah sebuah budaya pesta yang awalnya lahir di Chicagi, Amerika Serikat, era 1980-an. Rave party biasanya dilakukan semalam suntuk dengan iringan musik berirama cepat dan pertunjukan lampu. Pesta ini digolongkan sebagai pesta liar karena identik dengan seks bebas dan tindakan-tindakan kriminal lain. Biasanya, dekorasi pesta ditata ala teater Yunani Kuno lengkap dengan patung dewa-dewi dan altarnya.

Bayangkan, dalam suasana pesta gila seperti itu, salah seorang raver bernama Dimas Wibisono tiba-tiba merasakan kekosongan jiwa dan takut jika tiba-tiba kematian datang menghampirinya. Dari sini, dia memutuskan untuk bertaubat, mengisi kekosongan jiwanya dengan mendekat kepada Allah. Dia mulai mempelajari Islam.

Orang kota-modern yang terjebak dalam gemerlap pesta, memenuhi hari-harinya dengan kenikmatan duniawi, mengisi paru-parunya dengan udara modernitas, dan akhirnya menemukan hidupnya kosong tak bermakna. Perasaan kosong kemudian membawanya titik balik pertobatan. Sangat klise!

Masalahnya adalah, jika sisi spiritualitas adalah kepingan yang hilang bagi orang-orang seperti Dimas, mengapa tasawuf yang selama ini menawarkan sisi spiritualitas tidak dilirik? Mengapa mereka justru masuk ke dalam aliran salafi?

**

Dia memperkenalkan diri bernama Dayat. Berusia 38 tahun. Dia tercatat sebagai salah satu ASN di lingkungan Pemkab Pamekasan, Madura., Jawa Timur. Sore itu, dia berdesak-desakan di tengah ratusan jamaah lain untuk mendapatkan shaf terdepan pada jamaah shalat maghrib di Masjid Nurul Iman yang terletak di rooftop Mal Blok M Square.

Apa yang membuatnya sangat antusias sore itu? Datang jauh-jauh dari Madura, dia ingin mengikuti pengajian da’i salafi top saat ini, Khalid Basalamah, dari barisan yang paling depan. Dia ingin mendapatkan ilmu ‘Islam kaffah’ secara langsung dari muballigh yang selama ini hanya bisa diikutinya lewat kanal Youtube. Dia merasa menemukan Islam yang sesungguhnya dari pada muballigh salafi ini karena ajaran-ajarannya langsung merujuk pada al-Qur’an dan Hadits-hadits shahih.

Jika membicarakan Madura, masih kurangkah pesantren tempat untuk belajar agama Islam di sana? Kurangkah ilmu para kiai Madura dalam mehami al-Qur’an dan Hadits sehingga orang seperti Dayat harus mengambil cuti dan datang ke Jakarta untuk mendengarkan kajian Islam Khalid Basalamah?

***

Apa yang sesungguhnya terjadi? Bagaimana kita memahami fenomena ini? Orang kota merasa hampa hatinya di tengah hingar-bingar kemegahan metropolitan, hendak mengisi sisi spiritualitasnya, bukannya ke tasawuf tapi lari ke salafi. Orang Madura ingin belajar Islam bukannya lari ke kiai, tapi malah berangkat ke Jakarta sekedar bisa mengikuti pengajian da’i salafi.

Tahun 2017, Vakey Foundation dari Inggris mengadakan survei dan menemukan bahwa agama telah menjadi faktor utama bagi anak-anak muda di Indonesia untuk mencapai kebahagiaan. Temuan Vakey Foundation ini seakan mengkonfirmasi bantahan para pembela agama terhadap teori sekularisasi, bahwa modernitas bukan berakhir dengan matinya agama, tapi justru menguatnya kehidupan agama karena manusia modern pada akhirnya memerlukan spiritualitas untuk mengisi kekosongan jiwanya. Inilah situasi yang kita temui di Indonesia saat ini.

Maraknya fenomena hijrah di kalangan para artis dan orang-orang kota yang selama ini hidup dalam gelimang kemewahan dan pesta adalah bangkitnya agama di tengah arus modernitas yang sejak awal menghalau agama dari kehidupan manusia.

Di tengah situasi ini, pertanyaan yang paling penting adalah di manakah NU dan Muhammadiyah? Mengapa dua organisasi ini terkesan kehilangan daya tariknya? Jika ada langkah-langkah yang dilakukan, mengapa kedua organisasi terkesan hanya bisa bertahan (membendung arus salafi dan mengamankan umat dari ekspansi agresif kaum salafi), sebuah sikap yang diam-diam sesungguhnya mengakui bahwa mereka memang kalah menarik?

Pada akhirnya, pemasaran agama juga tunduk pada hukum pasar. Sebagus apapun kualitas sebuah produk, jika tidak dikemas dan dipasarkan dengan baik, tidak akan ada yang membeli. Sebiasa apapun sebuah produk, jika ia dikemas dengan cantik dan dipasarkan dengan cerdik, dia akan dibeli oleh konsumen. Sesederhana itulah rumusnya.

Jika yang dibutuhkan para pencari Islam baru ini adalah ulama yang mumpuni keilmuannya, kurang alim apa para kiai NU dan cendekiawan/ustadz Muhammadiyah? Jika yang dibutuhkan konsumen Islam kota adalah pemahaman atas al-Qur’an dan Hadits, kurang dalam apa ilmu para kiai NU dan cendekiawan/ustadz Muhammadiyah dalam memahami dua sumber penting ajaran Islam itu?

Jika yang dibutuhkan orang-orang kota adalah hukum-hukum agama yang bersifat solutif atas problem-problem kontemporer, kurang canggil apa penguasaan para kiai NU dan cendekiawan/ustadz Muhammadiyah terhadap ilmu fiqh? Tapi mengapa justru yang laku di perkotaan adalah Islam salafi? Sekali lagi, jawabannya adalah packaging dan strategi marketing.

Lihatlah Hanan Attaki! Sebagai muballigh yang menyasar konsumen muda, dia sadar betul bagaimana harus men-display dirinya di tengah anak-anak muda. Dia mengemas pesan-pesan dakwahnya dalam bahasa-bahasa yang bisa dimengerti anak muda. Ini bukan urusan benar-salah, bukan pula soal dalam atau dangkal, ini soal bagaimana cara menyampaikan pesan. Karena itu, media juga menjadi sangat penting.

Orang seperti Khalid Basalah memiliki kesadaran tentang ini. Saat banyak kiai NU dan ustadz Muhammadiyah bahkan masih gagap berceramah di depan kamera televisi, seorang Khalid Basalamah telah menyadari bahwa pemirsa televisi mulai menurun. Dia membuat kanal Youtube-nya sendiri untuk menyampaikan dakwah-dakwahnya. Didukung oleh tim profesional, tampilan dan pesan dikemas secara apik dan dipasarkan melalui kanal yang tepat. Saat ini, pelanggan kanal Youtube-nya menembus angka 867.572 subscriber, di mana video-video ceramahnya sudah ditonton lebih dari 50 juta kali.

Marilah kita membuat pengandaian. Ada seorang gadis yang dianugerahi Tuhan rupa yang menawan. Suatu hari datanglah dia di suah pesta dengan dandanan ala kadarnya, bahkan mungkin sama sekali tidak berdandan. Bisa dipastikan dia tidak akan menjadi pusat perhatian orang-orang yang hadir di pesta itu. Seandainya pun si gadis tadi berpakaian menarik, tapi dia hanya menyendiri di pojokan karena tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain, dia mungkin akan disapa satu dua orang, tapi selebihnya dia hanya akan sendirian di pojokan.

Pada saat yang sama, ada seorang gadis yang wajahnya biasa-biasa saja, tapi hadir dengan penampilan yang menarik dan memiliki keluwesan dalam berkomunikasi, pasti si gadis biasa-biasa saja ini akan jauh lebih bisa menarik perhatian tamu-tamu yang hadir. Seandainya si gadis cantik tadi berdandan dengan menarik dan mampu berkomunikasi dengan luwes, pasti dia akan menjadi bintang dalam pesta tersebut.

Sekali lagi, sejauh berbicara tentang pasar, agama juga tunduk dalam aturan mainnya, bahwa “packaging is everything (kemasan adalah segala-galanya).[]