Ketika Sahabat Nabi Ikut Terlibat dalam Penetapan Hukum

Ketika Sahabat Nabi Ikut Terlibat dalam Penetapan Hukum

Ketika Sahabat Nabi Ikut Terlibat dalam Penetapan Hukum

Syari’at Islam bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Disamping itu, seperti pernah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya yang lalu, ada juga peranan Mujtahid (ahli hukum Islam) dalam menetapkan hukum yang tidak diatur secara jelas dan terinci dalam al-Qur’an dan Hadits.

Kalau kita simak lebih jauh dalam prosesnya, interaksi antara Nabi Muhammad SAW dengan para sahabatnya turut mendorong terjadinya penetapan hukum. Ini artinya bukan saja proses penetapan hukum Islam berjalan dengan dialogis, tetapi juga keterlibatan manusia, selaku subjek hukum, juga bisa dibenarkan dalam batas tertentu.

Ada Hadits marfu’ yang diriwayatkan dalam Musnad Ahmad (Hadis 21107) nomor yang mengisahkan keterlibatan Sahabat Nabi ini. Riwayat ini cukup panjang, namun saya hanya kutip sebagian saja yang sesuai dengan konteks artikel ini.

Mu’adz bin Jabal, seorang sahabat Nabi yang terkenal cerdas, mengisahkan paling tidak ada dua contoh keterlibatan para sahabat dalam proses penetapan hukum Islam oleh Nabi.

Pertama: kasus Adzan

Berkata Mu’adz bin Jabal: Seseorang dari Anshar bernama ‘Abdullah bin Zaidmendatangi Rasulullah Saw dan berkata: Wahai Rasulullah! Saya bermimpi melihat sesuatu yang dilihat orang yang tidur. Andai saya berkata saya tidak tidur tentu saya benar, sesungguhnya saat saya berada dalam kondisi antara tidur dan terjaga, saya melihat seseorang mengenakan dua baju hijau, ia menghadap kiblat kemudian berkata; Allahu akbar, Allahu akbar, asyhadu allaa ilaaha ilaallaah, asyhadu allaa ilaaha ilaallaah, dua kali dua kali hingga usai adzan. Kemudian diam sesaat dan berkata seperti yang diucapkan hanya saja ia menambahkan; Qad qoomatish sholaatu qad qoomatish sholaatu.

‎فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم علمها بلالا فليؤذن بها فكان بلال أول من أذن بها

Kemudian Rasulullah Saw bersabda; “Ajarkan pada Bilal supaya dipakai adzan.” Bilal adalah orang pertama yang mengumandangkan adzan dengan kalimat-kalimat itu. Berkata Mu’adz bin Jabal: Kemudian ‘Umar bin Khattab datang dan berkata; Wahai Rasulullah! Saya bermimpi seperti yang ia mimpikan hanya saja ia mendahuluiku.

Itulah sejarah pensyari’atan adzan untuk memanggil orang shalat. Berasal dari mimpi para Sahabat Nabi, yang kemudian dibenarkan dan ditetapkan oleh Nabi Muhammad. Nabi tidak mencela atau menganggap lancang para Sahabat yang bermimpi demikian. Nabi membenarkan mimpi yang baik dan benar ini (ar-ru’ya as-shadiqah).

Kedua: kasus Makmum yang datang terlambat.

Dahulu makmum yang terlambat, dia bertanya kepada Imam sudah berapa rakaat. imam memberi isyarat 1 atau 2 rakaat, lalu yang terlambat ini shalat sendirian mengejar rakaat yang tertinggal, setelah itu baru gabung dengan jam’ah bersama-sama menyelesaikan sisa rakaat.

Akhirnya suasana jadi kacau, karena yg terlambat itu seolah balapan mengejar ketertinggalan mereka sebelum ikut gabung dengan jama’ah. Mu’adz bin Jabaldatang dan Nabi telah shalat beberapa rakaat, ia langsung ikut shalat bersama beliau. Saat Rasulullah usai shalat, Mu’adz berdiri dan mengganti rakaat yang tertinggal.

‎فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنه قد سن لكم معاذ فهكذا فاصنعوا

Lalu Rasulullah bersabda: “Mu’adz telah menyontohkan untuk kalian, seperti itulah hendaknya kalian melakukannya.”

Nah, ini kasus yang sangat menarik bagaimana praktek ibadah Mu’adz yang berbeda dari kebanyakan orang saat itu tidak dianggap bid’ah oleh Nabi. Bahkan Nabi memuji dan menetapkan aturan makmum masbuk (yang terlambat) seperti yang dilakukan oleh Mu’adz.

Nabi Muhammad tidak anti dengan pendapat para Sahabatnya. Bahkan sesuatu yang baik yang dilakukan oleh para Sahabat bisa diterima dan diakomodir sebagai bagian dari Syari’at Islam.

Jadi, pupus sudah bayangan sosok Rasulullah yang seolah kaku dan anti dengan hal-hal baru, seperti yang disampaikan sebagian da’i kita. Kenyataannya, Nabi Muhammad bukan saja welas asih, tetapi sangat akomodatif.

Salah satu imam mazhab terkenal bernama Imam Abu Hanifah pernah berkata: “Seandainya Rasulullah berjumpa denganku, ia akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah agama itu ra’yu yang baik?

Ah, andaikata saja kita bisa bertemu dan berdiskusi langsung dengan Rasulullah SAW. Shalawat dan salam untukmu wahai Nabi.

Selengkapnya, klik di sini