Kanjeng Nabi Muhammad sangat sedih ketika ditinggal wafat oleh Abu Thalib dan Khadijah. Beliau pun mencoba melupakan kesedihannya dengan pergi ke Thaif untuk berdakwah. Namun apa yang diharapkan Kanjeng Nabi pupus sebab dakwahnya ditolak bahkan beliau dipersekusi.
Di dalam hadis riwayat al-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir disebutkan bahwa beliau mendatangi tiga pemuka Thaif. Mereka adalah Abdul yalil, Mas’ud dan Habib. Tiga orang pembesar tersebut menolaknya. Orang pertama mengatakan, “Aku akan mencabik-cabik kain Kakbah jika engkau adalah utusan Gusti Allah.”
Orang kedua bilang, “Apakah Gusti Allah tidak menemukan orang yang lebih baik darimu untuk menjadi Rasul-Nya?
Orang ketiga berkata, “Aku tidak akan bicara. Jika engkau dusta, aku lebih kuasa untuk membalas pendusta sepertimu. Tetapi jika jujur, aku khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk terhadapku.”
Mereka pun menyuruh orang-orang untuk mengusir Kanjeng Nabi dari Thaif. Oleh orang-orang, Kanjeng Nabi bukan hanya diusir tapi juga dilempari batu hingga bagian tubuh beliau berdarah. Melihat darah yang keluar, Kanjeng Nabi mengatakan, “Kau hanyalah jari yang berdarah. Di jalan Allah, hal seperti ini ini tidak ada artinya apa-apa.”
Kanjeng Nabi pun pergi meninggalkan Thaif diiringi gelak tawa mereka yang mengejek dan merendahkan. Di dala kitab Sirah Ibnu Katsir disebutkan bahwa Kanjeng Nabi pergi sambil mengadu kepada Gusti Allah. “Ya Allah, kepada-Mu kuadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya caraku dan ketidakberdayaanku menghadapi manusia, wahai zat yang Maha Pengasih di antara yang pengasih. Engkaulah Tuhanku. Kepada siapakah gerangan Engkau akan menyerahkanku? Kepada yang jauh dan bermuka masa kepadaku, atau kepada musuh yang akan menguasaiku? Entahlah. Asal Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. Ampunan-Mu lebih luas bagiku.”
Di tengah kebingunan itu, langkah kaki Kanjeng Nabi terhenti di sebuah ladang milik Utbah dan Rabiah. Kedua orang ini adalah putra dari Syaibah. Beliau duduk di situ. Utbah dan Rabiah kasihan melihat keadaan Kanjeng Nabi. Mereka menyuruh salah satu pegawainya yang beragama Nasrani. Namanya Adas. “Kang Adas, ambillah sejumlah anggur kemudian berikan kepada orang itu.”
Adas mengambilkan anggur lalu duduk di samping Kanjeng Nabi Muhammad. Rasulullah mengambil anggur pemberian Adas lalu mengucapkan, “Bismillah” sebelum makan.
Adas terperanjat mendengar kalimat yang diucapkan Kanjeng Nabi Muhammad. “Siapa namamu, Kang?” tanya Kanjeng Nabi.
Ia menjawab, “Namaku Adas,”
“Apa agamamu?”
“Aku seorang Nasrani.” jawab Adas.
Rasulullah bertanya lagi, “Kamu dari mana?”
“Aku dari Ninawa. Salah satu daerah di Irak.”
“O. Niwana itu negerinya orang yang saleh bernama Yunus bin Mata.”
“Loh. Bagaimana kamu tahu kalau di sana ada Nabi Yunus? Siapa yang memberitahumu?”
“Dia Nabi. Aku pun juga nabi. Jadi kami bersaudara.” Jawab Kanjeng Nabi.
Mendengar hal tersebut Adas menunduk hormat sembari menciumi tangan Rasulullah. Namun Utbah, tidak suka kepada sikap Adas kepada Kanjeng Nabi. Mereka pun akhirnya berpisah.
Dari kisah di atas ada dua hal yang bisa dijadikan teladan. Pertama, kesabaran Kanjeng Nabi menghadapi orang kafir walaupun beliau dipersekusi. Di dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Jibril mendatangi Kanjeng Nabi dan menawarkan untuk membalas orang Thaif dengan melempar gunung kepada mereka. Tapi apa yang dijawab Kanjeng Nabi. Beliau justru berharap kelak ada orang yang bisa berdakwah di tengah masyarakat Thaif agar mereka menyembah Allah.
Kedua, sikap Kanjeng Nabi yang membuat Adas tertarik. Apa yang membuat Adas tertarik? Akhlak dan pengetahuannya. Bukan kekayaan atau jabatannya. Dengan akhlak dan ilmu yang dimiliki Kanjeng Nabi, Adas langsung hormat meskipun baru pertama kali bertemu.
Dua teladan ini tidaklah mudah untuk ditiru. Untuk menjadi sabar, orang harus berjiwa besar. Dan, untuk menjadi orang yang berilmu dan berakhlak orang harus banyak belajar dan terus berusaha membiasakan diri dengan ilmu dan akhlaknya.
Barangkali dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa meniru sunnah Kanjeng Nabi yang berupa sabar, berakhlak, dan berilmu. Ketiga hal itu tentu saja lebih sulit ditiru dari pada meniru Kanjeng Nabi dari model pakaian atau jenggot tebal.
Wallahu A’lam.