Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA: Diceritakan bahwa seseorang datang meminta izin untuk bertemu sahabat Umar bin Khottob. Setelah orang itu diizinkan, dia berkata, ”Wahai Ibnul-Khaththab, demi Allah, engkau tidak membuat keputusan yang adil di antara kami.”
Umar pun marah besar mendengarnya, bahkan hampir saja dia memukulnya. Namun Al-Hurr bin Qais segera mencegah seraya berkata, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah pernah berfirman kepada Nabi SAW, ’Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raaf, 7 : 199).
Maka Umar pun mengurungkan niatnya untuk menghajar orang itu setelah dibacakan ayat ini. Setelah itu pikirannya terus menerawang terhadap Kitab Allah. (Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qashidin).
Umar berusaha untuk meneladani keteladanan agung yang telah dicontohkan oleh Rasulullah manakala perang Uhud sedang berkecamuk. Ketika itu Rasulullah SAW diminta oleh para sahabatnya untuk mendoakan orang-orang yang telah menyakitinya agar celaka. Nabi SAW justru menjawab, ”Aku sekali-kali tidak diutus untuk melaknat seseorang, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan sebagai rahmat.”
Lalu Rasulullah mengangkat tangannya menengadah ke atas langit seraya berdoa, ”Wahai Tuhanku ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”
Rasulullah bahkan tidak berniat membalas dendam, namun malah memaafkan mereka dan kemudian dengan rasa kasih sayang beliau mendo’akan agar mereka diberi ampunan Allah, karena dianggapnya mereka masih belum tahu tujuan ajakan baiknya.
Dalam perang Uhud itu juga, seorang budak hitam bernama Wahsyi didatangkan kepada Nabi. Ia adalah sang adalah pembunuh paman Nabi yang sangat dicintai dan dihormati, Hamzah bin Abdul Muththalib. Wahsyi dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan bila berhasil membunuh Hamzah dan ia berhasil. Ketika itu Wahsyi sudah “dikuasai” oleh Rasulullah.
Apakah beliau melakukan pembalasan? Tidak. Rasulullah SAW memaafkannya.