Ketika Rasulullah Tidak Jadi Membocorkan Waktu Pasti Lailatul Qadar

Ketika Rasulullah Tidak Jadi Membocorkan Waktu Pasti Lailatul Qadar

Ketika Rasulullah Tidak Jadi Membocorkan Waktu Pasti Lailatul Qadar
Banyak hadits Nabi yang memberi indikasi mengenai kapan datangnya lailatul qadar. Ada sejumlah hadits yang meminta kita mencari di sepuluh malam terakhir; dan ada pula yang mengindikasikan di tujuh malam terakhir. Dan tentu saja hadits-hadits yang lebih spesifik menyebut malam ganjil. Namun sebenarnya Rasulullah SAW pernah hendak ‘membocorkan’ kepastian waktunya namun gak jadi. Kenapa? Simak yuk hadits Sahih Bukhari Nomor 1883.

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ، حَدَّثَنَاأَنَسٌ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ خَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَتَلاَحَى رَجُلاَنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَقَالَ “خَرَجْتُ لأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَتَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ، وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِوَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ.‏”‏‏

 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Harits telah menceritakan kepada kami Humaid telah menceritakan kepada kami Anas dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit berkata; Nabi SAW keluar untuk memberitahukan kami tentang Lailatul Qadar. Tiba-tiba ada dua orang dari Kaum Muslimin yang tengah berbantah-bantahan. Akhirnya Beliau berkata: “Aku datang untuk memberitahukan kalian tentang waktu terjadinya Lailatul Qadar namun fulan dan fulan tengah berdebat sehingga kepastian waktunya diangkat (menjadi tidak diketahui). Namun semoga kejadian ini menjadi kebaikan buat kalian, maka carilah pada malam yang kesembilan, ketujuh dan kelima (pada sepuluh malam akhir dari Ramadhan)”.

Jadi, Nabi Muhammad urung ‘membocorkan’ karena info kepastian waktu datangnya lailatul qadar pada malam keberapa telah diangkat kembali oleh Allah. Atau dalam redaksi di riwayat lain, Nabi menjadi lupa hal itu. Itu semua dikarenakan terjadinya pertengkaran kedua sahabat Nabi di dalam Masjid, yang dalam riwayat Sahih Muslim disebut “keduanya merasa benar dan ‘didampingi’ oleh Syetan” —untuk mendeskripsikan emosi keduanya.

Yang menarik, Imam Bukhari tidak mencantumkan kedua nama Sahabat itu. Saya menduga bahwa Imam Bukhari (atau para perawi yang meriwayatkan kisah ini) tidak mau menjatuhkan martabat agung kedua Sahabat Nabi tersebut. Tentu kalau kemudian nama keduanya menjadi diketahui umat generasi berikutnya itu semata-mata hanya untuk mengambil pelajaran saja, bukan untuk merendahkan kedua beliau radhiyallah ‘anhuma.

Ibn Hajar dalam kitab Fathul Bari saat menjelaskan riwayat ini menyebutkan nama kedua Sahabat Nabi yang bikin heboh di atas itu berdasarkan info dari Ibn Dihyah. Nah, sebelum kita ‘bocorkan’ nama kedua sahabat Nabi itu, kita bahas dulu siapa Ibn Dihyah ini?

Ibn Dihyah adalah seorang ahli Hadits dari Spanyol di masa kejayaan Islam. Lahir di Valencia tahun 1150 Masehi dan wafat di Mesir pada tahun 1235 Masehi. Beliau ini keturunan  dari seorang Sahabat Nabi yang namanya sama yaitu Ibn Dihyah. Ibn Dihyah yang sahabat Nabi itu merupakan utusan Nabi ke Heraklius, dan wajahnya terkenal ganteng.

Dalam satu riwayat, Jibril alaihis salam pernah menemui Nabi dalam wujud seorang manusia yang wajahnya ganteng seperti Ibn Dihyah ini, sesuai info dari istri Nabi Muhammad yang bernama Ummu Salamah Radiyallah ‘anha. Jadi Ibn Dihyah yang dikutip Ibn Hajar ini bukan orang sembarangan.

Nah, Ibn Dihyah mengatakan bahwa nama kedua sahabat Nabi ini adalah Ka’ab bin Malik dan Abdullah bin Abi Hadrad. Sebagai akademisi, saya tidak puas hanya mengetahui dua nama ini. Saya ingin tahu apa sih yang mereka pertentangkan sampai memancing reaksi dari Nabi Muhammad dan konsekuensinya kita jadi gak dapat ‘bocoran’ tentang kepastian waktu lailatul qadar.

Saya menemukan dalam Sahih Bukhari, hadits nomor 437 (dan diulang sampai 5 kali dalam bab berbeda di Sahih Bukhari):

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin ‘Umar berkata, telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhri dari ‘Abdullah bin Ka’b bin Malik dari Ka’b, bahwa ia pernah menagih hutang kepada Ibn Abu Hadrad di dalam Masjid hingga suara keduanya meninggi yang akhirnya didengar oleh Rasulullah SAW yang berada di rumah. Beliau kemudian keluar menemui keduanya sambil menyingkap kain gorden kamarnya, beliau bersabda: “Wahai Ka’b!” Ka’b bin Malik menjawab: “Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.” Beliau bersabda: “Bebaskanlah hutangmu ini.” Beliau lalu memberi isyarat untuk membebaskan setengahnya. Ka’b bin Malik menjawab, “Sudah aku lakukan wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda (kepada Ibnu Abu Hadrad): “Sekarang bayarlah.”

Jadi ributnya ternyata soal hutang-piutang. Bagaimana komentar Ibn Hajar terhadap kejadian ini?

Ibn Hajar mengutip ulama besar lainnya, Qadhi ‘Iyad, yang mengatakan bahwa Hadits tentang pertengkaran kedua sahabat yang menyebabkan Nabi urung menceritakan kepastian waktu lailatul qadar merupakan dalil bahwa pertengkaran itu sesuatu yang tercela, yang menjadi sebab datangnya hukuman moral, yaitu terhalangnya keberkahan dan kebaikan serta mengundang hadirnya Syetan bersama pertengkaran itu.

Ibn Hajar juga mengomentari bahwa Masjid itu tempatnya berzikir, bukan bersenda gerau, apalagi bertengkar. Dan pertengkaran itu terjadi pula di waktu yang sangat khusus yaitu bulan suci Ramadhan.

Kita tahu bahwa rumah Nabi bersebelahan dengan Masjid, makanya Nabi mendengar suara keras kedua sahabat yang tengah cek-cok itu. Kata Ibn Hajar ini melanggar ketentuan Allah dalam al-Quran untuk merendahkan suara di depan Nabi Muhammad (QS al-Hujurat:2).

Hikmahnya tentu kita sekarang jadi ramai beribadah di sepuluh malam terakhir Ramadhan dan tidak hanya fokus di satu malam tertentu saja seandainya Rasul jadi memberi kita ‘bocoran’. Selalu ada hikmah dari setiap peristiwa yang melibatkan Nabi dan para sahabat beliau.

Pelajaran lainnya adalah bertengkar itu jelek, apalagi di dalam Masjid. Jangan urusan hutang-piutang dibicarakan di Masjid, nanti bikin ramai, apalagi membahas hal sensitif lainnya seperti soal politik dukung-mendukung kandidat atau parpol misalnya. Kita jaga kerukunan bersama agar keberkahan dan kebaikan tetap menyelimuti kita semua. Amin Ya Allah

Tabik,

Nadirsyah Hosen; Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School