Seorang teman pernah berkalakar, “Kala politisi semakin saleh artinya masa kampanye semakin dekat.” Ucapan ini mungkin terkesan sarkasme. Namun, persoalan kesalehan yang muncul di ruang-ruang iklan seringkali menimbulkan perdebatan alot. Sebab, sebagian kita mungkin masih menganggap, “Salahkah kita berharap politisi yang saleh?”
Namun, beberapa hari ini kita diperlihatkan kesalehan di ranah politik menjadi perbincangan publik. Saat sosok Ganjar Pranowo, salah satu bakal calon Presiden RI dari PDIP, muncul pada tayangan azan Maghrib di salah satu televisi Swasta Indonesia. Tak pelak, banyak pihak berkomentar bahkan tak sedikit yang menyinyiri-nya.
Menariknya, Iklan Azan dan Ganjar ini langsung dipersoalkan terkait politik identitas, yang selama ini dianggap toxic dalam perpolitikan Indonesia. Perdebatan ini, menurut saya, sebenarnya hanya gimmick belaka. Sebab, saya melihat antara tayangan Azan, kesalehan, dan iklan politik Ganjar tidak sesimpel hanya soal politik identitas.
Tayangan Azan: Komersialisasi, Komodifikasi, dan Iklan Po litik
Tayangan azan di televisi apakah bisa dikategorikan sebagai iklan? Mungkin, kita masih kesulitan menjawab pertanyaan ini. Walaupun, secara teknis, pihak media televisi bisa menjawabnya secara teknis. Namun, kehadiran azan sebagai penanda waktu salat di televisi masih perlu diulas secara mendalam.
Sebagaimana produk televisi lainnya, tayangan azan di televisi memang membuka peluang bagi siapa saja untuk memanfaatkannya. Dengan kata lain, tayangan azan adalah lahan komersial yang bernilai ekonomi. Apa saja yang muncul dalam tayangan televisi adalah ruang yang dikomodifikasi atau layak untuk dijual.
Ruang tersebut juga bisa menjadi arena terbuka yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang dapat “membeli”-nya. Walhasil, tayangan azan menjadi “ruang ekonomis” yang bisa ditawarkan. Mungkin inilah alasan paling dasar untuk kita menyebut tayangan azan sebagai iklan.
Buktinya, di tempat saya, tayangan azan di sebuah televisi lokal pada bulan Ramadan malah pernah diisi konten promosi salah satu agen travel Umrah dan Haji, atau salah satu Bank lokal. Tidak hanya politisi, para pemodal, artis, hingga pemilik usaha pun bisa memanfaatkan “ruang komersial” dalam tayangan azan tersebut.
Jadi, kemunculan Ganjar dalam tayangan azan justru menggambarkan kepada kita bagaimana iklan, politik, hingga media digital hari ini. Sebab, saat kita melihat tayangan azan sebagai bagian dari iklan, maka ruang-ruang ekonomis tersebut menjadi terbuka bagi siapa saja untuk memanfaatkannya (baca: membelinya), termasuk bagi calon-calon pejabat publik.
Akhmad Danial dalam buku Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru menyebutkan, kampanye politik mulai masuk ruang digital, dalam hal ini televisi, ditengarai sejak tahun 2004.
Menariknya, sejak awal kampanye politik masuk televisi malah memunculkan gaya politik yang berorientasi pada sosok, ketimbang ide atau program politik yang lebih umum.
Sayangnya, kemunculan Ganjar di tayangan azan adalah bukti bahwa kondisi politik di ranah digital kita masih belum beranjak, dari kondisi di tahun 2004 lalu. Sisi kesalehan yang ditonjolkan dalam sosok Ganjar dalam bentuk gerakan wudhu dan sebagian salat berjamaah.
Danial berpendapat bahwa iklan politik masih saja menonjolkan citra positif dari sang politisi atau partai politik. Salah satu citra diri paling laku hingga bisa menumbuhkan atensi dan impresi positif di masyarakat kita.
Maka, kehadiran Ganjar di tayangan azan termasuk dari kesalehan yang dimunculkan di ruang-ruang digital. Dan tayangan azan yang terdapat sosok Ganjar ini bukan barang asing di tengah kontestasi politik kita. Saya tidak ingin mentolerasi eksploitasi narasi agama dalam ranah politik, namun kehadiran kesalehan sebagai bagian dari kampanye atau usaha mempengaruhi pilihan politik masyarakat, maka apa yang dilakukan Ganjar “sebenarnya” tidaklah asing.
Agama hadir di ranah politik, termasuk iklan atau tayangan azan, adalah pilihan paling rasional bagi para politisi, terutama jika ingin merebut simpati dan atensi warga. Sebab, entah disadari atau tidak,kita masih sering menggunakan penilaian pada kesalehan seseorang sebagai salah satu variabel atau parameter kelayakan seorang pemimpin.
Ambiguitas Politik Kesalehan
Sebagian politisi memasukkan kemunculan Ganjar di tayangan azan pada salah satu stasiun televisi swasta sebagai politik identitas. Kontroversi ini juga memancing perbincangan di ruang-ruang publik hingga di ranah digital, seperti siniar, acara debat politik di televisi, hingga perbincangan di grup-grup Whatsapp.
Namun, saya melihat kesalehan yang dihadirkan sebagai komoditas politik tidak selalu dipandang negatif. Dengan kata lain, respon kita atas komodifikasi kesalehan terkesan ambigu, di mana kesalehan berupa perilaku baik atau agamis yang dihadirkan di ruang publik, termasuk ranah digital, tidak selalu dipersoalkan.
Saya pernah mendengar masyarakat kita menyertakan legitimasi dengan sebuah pertanyaan retoris, “Apa yang salah jika seorang politisi atau pimpinan daerah saleh?” Ada calon walikota yang memiliki jadwal khutbah setiap hari jumat di masjid-masjid berbeda-beda, atau seorang calon kepala daerah menantang lawannya untuk mengaji Alquran di masjid besar di daerahnya. Maka, kesalehan seperti ini sering pandang biasa, bahkan kadang dirayakan.
Walaupun, kita juga sering menjumpai seorang politisi diolok-olok karena melakukan beberapa “kesalahan” dalam melakukan ritual ibadah, baik secara syarat dan rukun atau perbedaan pandangan keagamaan. Lihat saja, perdebatan soal kain ihram Jokowi atau Tayammum seorang pejabat. Kerentanan ini tidak cukup membuat para politisi jera terlibat dalam komodifikasi kesalehan.
Komodifikasi kesalehan dalam politik ini, sebagaimana tayangan azan didalamnya ada sosok Ganjar, bukan barang asing di ranah politik. Apakah komodifikasi ini bisa dilihat sebagai politik identitas?
Kesalehan bisa dilihat sebagai politik identitas jika digunakan untuk menghalang-halangi atau mengeksklusi pilihan politik. Namun, di titik ini, tayangan azan dan Ganjar adalah komodifikasi kesalehan untuk merebut simpati hingga mempengaruhi pilihan politik masyarakat.
Protes atau ketidaksepakatan atas kehadiran Ganjar di tayangan azan bisa jadi awal yang bagus, untuk kampanye politik kita. Jika kesalehan tidak diperbolehkan, sebagaimana identitas primordial lainnya, maka ini bisa digunakan untuk mengurangi komodifikasi kesalehan dalam politik elektoral.
Sayangnya, hal tersebut jelas sulit sekali terwujud. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, kesalehan masih sering terjebak pada posisi ambigu. Jadi, kesalehan masih sering dipakai untuk menjadi modal pencitraan diri yang dipakai oleh para politisi atau partai politik dalam kampanye atau iklan politik mereka. Tayangan azan dan Ganjar adalah salah satu buktinya.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin