
Selama ini, pesantren dikenal sebagai pusat pendidikan Islam tradisional. Namun di balik kesederhanaan sarung dan kitab kuning, tersembunyi potensi besar dalam membangun kemandirian ekonomi umat. Hari ini, ekonomi pesantren sedang mengalami kebangkitan—mengusung semangat santripreneur, koperasi syariah, hingga digitalisasi pasar halal.
Pesantren tidak hanya menjadi benteng pendidikan dan spiritualitas umat Islam, tetapi juga mulai mengambil peran strategis dalam menjawab tantangan ekonomi global dan ketimpangan sosial. Di tengah dinamika zaman, pesantren didorong untuk tampil sebagai motor penggerak ekonomi berbasis nilai-menghadirkan keadilan, kemandirian, dan solidaritas sosial.
Konsep ekonomi pesantren adalah sistem yang dijalankan oleh dan dari pesantren, dengan tujuan utama memberdayakan santri serta masyarakat sekitar. Nilai-nilai keislaman seperti kejujuran, keadilan, dan kepedulian sosial menjadi fondasi dalam setiap kegiatan ekonominya. Pesantren kini tak hanya tempat menimba ilmu agama, tapi juga ruang tumbuhnya kegiatan ekonomi yang menyejahterakan.
Lebih dari 36.000 pesantren di Indonesia dihuni oleh lebih dari 5 juta santri (Kemenag, 2023). Sekitar 20% di antaranya telah mengelola unit usaha sendiri, mulai dari sektor riil hingga ekonomi digital. Inilah kebangkitan ekonomi pesantren, ekonomi yang berbasis nilai, berdaya secara sosial, dan mandiri secara finansial. Meskipun belum ada data konkrit, menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian[3], dari sekitar 36.080 pesantren di Indonesia, sekitar 12.469 atau 39,7% memiliki potensi ekonomi yang signifikan. Potensi ini mencakup sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan usaha mikro keci, termasuk Santripreneur dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) syariah.
Secara historis, peran ekonomi pesantren telah terlihat sejak masa Walisongo. Saat itu, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga menjadi pusat produksi dan distribusi kebutuhan masyarakat. Dalam perkembangannya, model ekonomi pesantren mencakup koperasi santri, Baitul Maal wat Tamwil (BMT), pertanian, perikanan, hingga UMKM. Melalui inisiatif ini, pesantren turut menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketimpangan.
Pemikiran tokoh-tokoh besar seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. MA Sahal Mahfudh, KH. Hasyim Muzadi, hingga KH. Yahya Cholil Staquf turut memperkuat gagasan bahwa pesantren harus menjadi agen perubahan sosial dan ekonomi. Mereka mendorong agar tradisi keilmuan pesantren tak lepas dari inovasi dan kemandirian ekonomi yang berakar dari bawah.
Lebih dari satu abad lalu, KH. Hasyim Asy’ari[4] telah menanamkan pentingnya etos kerja dan kemandirian melalu penguatan sektor pertanian. Beliau pernah berkata: “Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe di waktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.” (KH Hasjim Asj’ari, Soeara Moeslimin Indonesia, No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363/15 Januari 1944).”
Nilai-nilai kerja keras dan kemandirian telah dihadirkan secara konkret para ulama sebelum berdirinya Nahdlatul Ulama. Mereka menyadari bahwa kemerdekaan spiritual harus diiringi oleh kemerdekaan ekonomi. Maka lahirlah Nahdlatut Tujjar[5] pada tahun 1918, sebuah gerakan ekonomi para santri dan pedagang yang menjadi cikal bakal fondasi ekonomi NU. Gerakan ini menjadi bukti bahwa pesantren sejak awal sudah memiliki visi jauh ke depan dalam memperkuat ekonomi umat.
Namun demikian, membangun ekonomi pesantren tidak selalu mudah. Di balik semangat yang besar dan sejarah yang kaya, tantangan juga tak sedikit. Banyak pesantren masih menghadapi keterbatasan manajemen profesional, akses permodalan yang sempit, kurangnya pendampingan teknis, serta belum maksimalnya sinergi dengan dunia usaha dan pemerintah. Inilah pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan bersama agar ekonomi pesantren benar-benar menjadi kekuatan baru bagi kemandirian umat.
Pesantren dan Gagasan Kemandirian
- Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melihat pesantren sebagai pusat transformasi sosial. “Pesantren bukan hanya tempat mengaji, tapi tempat perubahan,” kata beliau dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006).
Gus Dur memandang pesantren sebagai pusat kebudayaan dan ekonomi rakyat. Dalam tulisannya, beliau menyatakan bahwa pesantren harus menjadi dinamisator sosial yang mampu merespons perubahan zaman tanpa kehilangan identitasnya. Gus Dur menekankan pentingnya pesantren untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi yang memberdayakan masyarakat kecil, seperti koperasi dan usaha mikro.
“Pesantren harus menjadi pusat pemberdayaan ekonomi umat, bukan sekadar lembaga pendidikan agama.”
Beliau juga mengkritik sistem ekonomi yang tidak adil dan mendorong pesantren untuk mengembangkan model ekonomi alternatif yang berbasis pada moralitas dan keadilan sosial. Gus Dur percaya bahwa pesantren memiliki potensi besar dalam menciptakan ekonomi yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak.[6]
- MA. Sahal Mahfudh dikenal dengan konsep “fikih sosial,” yang menekankan pentingnya memahami hukum Islam dalam konteks sosial dan ekonomi. Hukum Islam harus membumi dan menyentuh masalah sosial-ekonomi umat. Beliau mendorong pesantren untuk tidak hanya fokus pada aspek ritual keagamaan, tetapi juga aktif dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan hadir secara nyata dalam kehidupan masyarakat miskin.[7]
“Pesantren harus menjadi agen perubahan sosial yang mampu memberdayakan masyarakat melalui pendekatan fikih yang kontekstual.”
Melalui lembaga seperti Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM), KH. Sahal Mahfudh mengimplementasikan konsep fikih sosial dalam berbagai program pemberdayaan ekonomi, seperti pelatihan keterampilan, pengembangan usaha mikro, dan pengelolaan keuangan syariah.
- Hasyim Muzadi menekankan pentingnya pesantren dalam membangun kemandirian ekonomi umat. Beliau mendorong pesantren untuk mengembangkan unit-unit usaha yang dapat meningkatkan kesejahteraan santri dan masyarakat sekitar. Menurutnya, pesantren harus menjadi pusat produksi dan distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
“Pesantren harus menjadi kekuatan ekonomi yang mandiri, tidak hanya bergantung pada bantuan pemerintah atau donatur.”
Beliau juga mengadvokasi pentingnya kolaborasi antara pesantren, pemerintah, dan sektor swasta dalam mengembangkan ekonomi pesantren yang berkelanjutan.
Sebagai Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf mengusung visi “Merawat Jagat, Membangun Peradaban,” yang menekankan peran pesantren dalam membangun peradaban yang adil dan harmonis. Beliau mendorong pesantren untuk terlibat dalam pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.[8]
“Pesantren harus menjadi pelaku utama dalam membangun peradaban yang adil dan harmonis, termasuk dalam bidang ekonomi.”
Gus Yahya juga menekankan pentingnya digitalisasi dan inovasi dalam mengembangkan ekonomi pesantren agar dapat bersaing di era globalisasi. “Menurut Gus Yahya[9], dari pengembangan ilmu akan lahir berbagai gagasan besar, termasuk inovasi pesantren dalam bidang ekonomi. Pesantren yang kokoh secara spiritual dan keilmuan akan lebih siap menjawab tantangan zaman, termasuk dalam membangun model ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Pernyataan ini mempertegas arah NU di bawah kepemimpinannya menjadikan pesantren sebagai episentrum keilmuan dan pemberdayaan masyarakat.”
Dari Koperasi hingga Marketplace Halal
Sejumlah pesantren di Indonesia telah mengembangkan ekonomi dengan berbagai model dan menjadi contoh sukses kemandirian ekonomi pesantren:
- Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, membangun koperasi santri yang mengelola retail, logistik, hingga simpan pinjam syariah.
- Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, memiliki unit bisnis santri dan pendidikan kewirausahaan berbasis pesantren.
- Pondok Pesantren Al-Ittifaq, Ciwidey, dikenal sebagai pionir agrobisnis pesantren, bermitra dengan ritel nasional untuk distribusi hortikultura.
- Pondok Pesantren Al-Hikmah, Subang, mengembangkan program agropreneur yang mengenalkan santri pada pertanian modern.
- Pondok Pesantren Nurul Jadid (Paiton, Probolinggo) dengan green ekonomi melalui eksperimen energi terbarukan dan pengelolaan sampah.
- Pondok Pesantren KHAS Kempek di Cirebon dan Pondok Pesantren Al Qur’aniyy Az-Zayadiyy di Surakarta pengembangan ekosistem ekonomidan keuangan syariah melalaui integrasi Unit Layanan Keuangan Syariah (ULKS)[10].
Dan masih banyak pesantren-pesantren yang mengembangkan kemandirian ekonomi untuk resiliensi (ketahanan keuangan). Disisi lain, gerakan Santripreneur Indonesia menjadi ruang koneksi antar pesantren dalam pelatihan bisnis, mentoring, dan pemasaran digital berbasis nilai-nilai pesantren.
Santri Kini: Berdakwah dan Berdagang
Istilah santripreneur[11] kini menjadi representasi wajah baru santri: mandiri, adaptif, dan siap berkontribusi di bidang ekonomi. Produk-produk pesantren seperti herbal, fashion muslim, kuliner halal, hingga aplikasi dakwah digital mulai mengisi ruang ekonomi kreatif Indonesia.
Inisiatif Santripreneur merupakan program yang bertujuan untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan di kalangan santri. Melalui pelatihan, pendampingan, dan akses permodalan, program ini membantu santri untuk mengembangkan usaha mandiri yang berbasis pada nilai-nilai keislaman. Santripreneur telah melahirkan banyak wirausaha muda yang sukses di berbagai bidang, seperti kuliner, fashion, teknologi, dan pertanian.
Program ini juga mendorong kolaborasi antara pesantren, pemerintah, dan sektor swasta dalam menciptakan ekosistem wirausaha yang kondusif bagi santri. Dengan demikian, santri tidak hanya menjadi agen dakwah, tetapi juga agen perubahan ekonomi di masyarakat.
Sementara itu, Pesantren Agropreneur adalah model pesantren yang mengintegrasikan pendidikan agama dengan praktik pertanian. Pesantren Al-Hikmah[12] di Subang, misalnya, mengembangkan program agronomi yang melibatkan santri dalam kegiatan pertanian, seperti budidaya tanaman, peternakan, dan pengolahan hasil pertanian. Program ini bertujuan untuk membekali santri dengan keterampilan praktis yang dapat digunakan untuk membangun usaha pertanian mandiri setelah lulus dari pesantren. Contoh lain adalah Pesantren Al-Ittifaq[13] di Ciwidey, Bandung, terkenal karena keberhasilannya dalam pertanian hortikultura modern. Produk mereka menembus pasar ritel besar (Transmart, Carrefour). Al-Ittifaq menjadi contoh sukses integrasi pertanian, pendidikan, dan pemasaran berbasis teknologi.
Selain itu, pesentaren juga mengembangkan modal koperasi santri. menjadi model penguatan ekonomi internal yang berbasis kolektivitas. Contoh: Koperasi Pondok Pesantren Sidogiri (Kopontren Sidogiri) yang berhasil mengelola jaringan minimarket dan usaha simpan pinjam dengan aset miliaran rupiah. Kopontren Sidogiri merupakan salah satu koperasi tertua dan tersukses yang dikelola pesantren. Dengan lebih dari 20 unit usaha, Sidogiri berhasil membangun ekosistem ekonomi berbasis syariah. Keuntungan koperasi dialokasikan untuk kesejahteraan santri dan kegiatan sosial.
Basis pengembanga ekonomi juga dilakukan untuk menyesuikan dengan zaman. Beberapa pesantren, seperti Tebuireng dan Al-Muhajirin, telah memulai pemasaran produk berbasis digital, dari batik santri, madu, herbal, hingga makanan ringan. Digitalisasi ekonomi pesantren juga mencakup penggunaan marketplace, sistem kas berbasis syariah, pembukuan digital, dan e-commerce pesantren. Upaya ini memperkuat daya saing produk pesantren di pasar yang lebih luas. Platform seperti Santripreneur.id (https://santripreneur2024.id/) hadir untuk memfasilitasi pemasaran produk santri secara digital.
Melalui pendekatan ini, pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga pusat produksi pertanian yang berkontribusi dalam ketahanan pangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar. Pesantren tak lagi hanya memproduksi ulama, tapi juga petani, pedagang, desainer, dan pemrogram aplikasi—semuanya tetap dengan akhlak dan etika santri.
Inovasi dan Tantangan
Agar semakin relevan di tengah dinamika zaman, ekonomi pesantren terus melahirkan inovasi yang adaptif dan berbasis potensi lokal. Empat bidang berikut menjadi tulang punggung kebangkitan ekonomi pesantren saat ini:
- Agroindustri & peternakan halal. Banyak pesantren kini mengelola lahan pertanian dan peternakan yang menghasilkan produk halal. Selain memenuhi kebutuhan sendiri, sektor ini membuka pasar baru bagi pesantren dan masyarakat sekitar.
- Koperasi berbasis syariah. Koperasi santri menjadi wadah simpan pinjam dan usaha bersama. Dengan prinsip syariah, koperasi ini memperkuat solidaritas ekonomi dan menumbuhkan budaya gotong royong yang produktif.
- Marketplace halal & toko daring produk santri. Digitalisasi membuat produk pesantren bisa menjangkau konsumen lebih luas. Marketplace halal menjadi sarana penjualan berbagai produk pesantren secara daring yang terpercaya dan sesuai syariat.
- Pelatihan digital dan literasi bisnis. Banyak pesantren mulai memberikan pelatihan kewirausahaan, literasi keuangan, dan keterampilan digital kepada para santri. Tujuannya agar mereka mampu berwirausaha dan tidak gagap teknologi.
Namun di tengah semangat besar ini, tantangan tetap hadir dan perlu disikapi serius:
- Keterbatasan manajemen profesional. Banyak unit usaha pesantren masih dikelola secara tradisional, belum berbasis sistem manajerial modern, sehinggaa sulit berkembang secara optimal.
- Akses modal usaha. Santri dan pesantren kerap kesulitan mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan karena kurangnya jaminan atau profil usaha yang belum tercatat resmi.
- Kurangnya pendampingan teknis. Minimnya pelatihan teknis dan manajemen bisnis menyebabkan usaha yang dirintis pesantren sulit bersaing atau berkembang.
- Belum maksimalnya sinergi dengan sektor swasta dan pemerintah. Kolaborasi pesantren dengan pihak eksternal belum terbangun kuat, padahal potensi untuk kerja sama dalam pelatihan, distribusi, dan investasi sangat terbuka.
Penutup
Kebangkitan ekonomi pesantren bukan sekadar tren, tapi bagian dari upaya lama yang kini menemukan bentuk barunya. Dari ladang ke marketplace, dari papan tulis ke layar digital, pesantren terus tumbuh menjadi pilar penting ekonomi umat.
Santri berdagang, pesantren berdaya—itulah cita-cita Nahdlatut Tujjar yang kini hidup kembali dalam wajah ekonomi umat yang lebih segar, dinamis, dan berdaya saing. Ekonomi pesantren bukan hanya solusi pragmatis atas kemiskinan, tetapi juga manifestasi dari visi Islam rahmatan lil ‘alamin.
Pesantren dengan seluruh kearifan lokal, etika kolektif, dan kekuatan spiritualnya adalah fondasi kuat untuk menciptakan model ekonomi yang adil dan mandiri. Jika diberdayakan secara sistemik, pesantren bisa menjadi pusat inovasi ekonomi umat—dari sawah hingga pasar digital.
[3] https://ekonomi.bisnis.com/read/20220421/9/1525291/peran-pesantren-di-sektor-umkm-digenjot-kemenko-gencar-promosi-kur?utm_source=chatgpt.com
[4] https://nu.or.id/fragmen/saat-kh-hasyim-asy-ari-berkata-petani-adalah-penolong-negeri-V6QUT
[5] https://www.nu.or.id/warta/nahdlatut-tujjar-sebagai-embrio-nu-9mvC4
[6] https://gusdur.net/islam-moralitas-dan-ekonomi/?utm_source=chatgpt.com
[7] https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/9947/
[8] https://peradaban.id/11-kutipan-gus-yahya-selain-ungkapan-menikahlah-karena-dajjal-itu-jomblo/?utm_source=chatgpt.com
[9] https://svr.nu.or.id/nasional/gus-yahya-nu-pergulatannya-harus-tentang-ilmu-dxbyk
[10] https://ekon.go.id/publikasi/detail/414/pondok-pesantren-jadi-sentra-pengembangan-ekosistem-ekonomi-dan-keuangan-syariah?utm_source=chatgpt.com
[11] https://santripreneur2024.id/
[12][12] https://suarapesantren.com/pesantren-agropreneur-al-hikmah-subang-kenalkan-agronomi-untuk-santri/
[13][13] https://suarapesantren.com/pesantren-agropreneur-al-hikmah-subang-kenalkan-agronomi-untuk-santri/