Bagi seorang perempuan yang bekerja di perkantoran, terkadang menjadi bingung ketika dari ada aturan khusus dari kantor yang berseberangan dengan agama dalam hal pakaian. Lantas, ia harus ikut aturan kantor atau terus berpedoman pada agama?
Perkantoran atau tempat perusahaan lainnya dalam Islam diperbolehkan untuk menetapkan suatu undang-undang dan aturan secara khusus, yang wajib ditaati oleh semua karyawan, bahkan Islam sangat mendukung jika undang-undang tersebut sejalan dan seirama dengan ajaran agama.
Namun demikian, undang-undang dan aturan yang seharusnya sama dengan agama itu terkadang tidak mendapat respon serius di suatu tempat perusahaan. Mereka menciptakan aturan sendiri yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Secara garis besar, aturan dalam sebuah perusahaan terbagi menjadi dua bagian, ada yang sesuai dengan aturan syariat Islam, ada juga yang justru bertentangan dengan Islam. Konsep yang pertama, seorang wanita harus patuh pada aturan kantor jika sudah sesuai dengan syariat, seperti aturan harus menutup aurat, tepat waktu dan lainnya. Hal ini seirama dengan salah satu kaidah fikih, yaitu:
اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ، الجَائِزَةِ شَرْعًا أَيْ ثَابِتُوْنَ عَلَيْهَا
“Kewajiban umat Islam adalah mengikuti kesepakatan yang telah ditetapkan. Yaitu berupa kesepakatan yang dilegalkan secara syariat, maka (kesepakatan) itu menjadi wajib untuk diikuti.” (Imam al-Manawi, at-Taisir bi Syarhi al-Jami’i as-Shagir, [Riyadl, Maktabah asy-Syafi’i: 1988], juz II, halaman 884).
Sedangkan untuk konsep yang kedua, jika sebuah lembaga atau perkantoran memiliki undang-undang bahwa pegawai harus menggunakan pakaian terbuka, tidak menutup aurat, dan aturan-aturan lain yang bertentangan dengan syariat, maka dalam hal ini ia harus tetap mengikuti syariat Islam. Ia tidak boleh membuka aurat dengan alasan mengikuti aturan tersebut.
Berkaitan dengan hal ini, Sayyid Abdurrahman Ba Alawi al-Hadrami dalam salah satu kitabnya mengatakan bahwa kewajiban mengikuti pimpinan, lembaga, perkantoran, dan lainnya adalah ketika aturannya seirama dengan ajaran Islam dan tidak keluar darinya. Jika keluar, maka tidak wajib untuk taat dan patuh dengannya,
تَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ فِيْمَا أُمِرَ بِهِ ظَاهِراً وَبَاطِناً مِمَّا لَيْسَ بِحَرَامٍ
“Wajib mengikuti pimpinan (lembaga, isntansi, perkantoran) dalam hal-hal yang diperintah olehnya baik secara lahir maupun batin selain perintah yang haram.” (Sayyid Abdurrahman, Bughyatu al-Mustarsyidin, [Beirut, Darul Fikr: tt], halaman 189).
Selain itu, Rasulullah juga menegaskan bahwa tidak ada kewajiban taat jika diperintah untuk bermaksiat kepada Allah,
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan bagi manusia dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi)
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketika aturan di sebuah tempat perusahaan, seperti kantor misalnya, bertentangan dengan ajaran agama, maka wajib bagi karyawan untuk tetap patuh pada ajaran agamanya. Ia tidak boleh keluar dari ajaran agama.Dan, jika aturannya sudah sesuai dan sejalan dengan ajaran agama, maka tidak ada alasan untuk tidak taat dan patuh dengannya.
Pelarangan Jilbab Pekerja Perempuan dalam Tinjauan Undang-undang
Sebagai negara hukum, Indonesia telah memastikan hak-hak pekerja perempuan, termasuk dalam hal ini busana pekerja perempuan. Adapun perbuatan pengusaha atau pemberi kerja yang menambahkan aturan tentang larangan berhijab/berjilbab bagi pekerja wanita dapat dikategorikan sebagai perlakuan diskriminasi terhadap pekerja atas dasar agama.
Sebagaimana dikutip dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 5 dijelaskan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan,”.
Dalam hal ini, sebagai penjelas dari UU Nomor 13 tahun 2003 ini, sebagaimana dikutip dari Hukumonline.com bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 6 tentang UU Nomor 13 tahun 2003 disebutkan, bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Penjelasan. Dengan demikian Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
Untuk itu, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang tercantum dalam Pasal 5 dan 6 di atas, secara tegas melarang pemberi kerja atau pengusaha untuk melakukan tindakan diskriminasi terhadap pekerja. Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja, tanpa adanya sikap diskriminasi bermotifkan agama, jenis kelamin, asas suku, ras ataupun aliran politik.