Isu-isu mutakhir yang begitu kompleks seringkali terjadi di masyarakat dalam tahun-tahun terakhir. Penafsiran-penafsiran Al-Quran klasik dirasa tidak cukup untuk menjadi sebuah solusi dari permasalahan tersebut. Sehingga pembacaan ulang Al-Quran yang kemudian melahirkan tafsir-tafsir baru yang lebih segar dan dirasa cocok untuk dijadikan sebuah landasan di zaman kontemporer ini.
Pembacaan ulang Al-Quran ini tidak perlu ditakuti apalagi dianggap sesuatu yang negatif. Walaupun penulis merasa sebagian masyarakat Indonesia kurang menerima tafsir-tafsir kontemporer ini. Stigma negatif terus saja disematkan terhadap tafsir kontemporer ini –seperti kata liberal, pun tak jarang dianggap sesat.
Salah satu isu terkini yang berkembang di masyarakat adalah poligami. Poligami kerap menjadi suatu momok bagi kaum perempuan. Karena poligami ini dianggap sebuah sisa dari macam perbudakan perempuan. Poligami juga merupakan sebuah bentuk ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Kebanyakan argumen yang digunakan pelaku adalah mencontoh Rasulullah Saw. yang mempunyai istri sebanyak sembilan orang, diperkuat oleh ayat Al-Quran dalam surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ayat tersebut dijadikan justifikasi oleh laki-laki yang hendak berpoligami. Sehingga ketika ada orang yang mau membantah ataupun melawan kerap dianggap sebagai seseorang yang mencoba untuk merubah Al-Quran. Padahal sebenarnya bukanlah ayatnya yang negatif dan menimbulkan persoalan, tetapi intrerpretasi terhadap ayat-lah yang mengundang persoalan tersebut.
Adalah Amina Wadud, seorang guru besar studi Islam pada Filsafat dan Agama di Universitas Virginia Commonwealth. Ia merupakan seorang pemikir perempuan yang seringkali melakukan penafsiran ulang ayat-ayat yang berbau budaya patriarki. Pemikiran Wadud ini terinspirasi dari Fazlur Rahman, sehingga pemikiran-pemikirannya hampir tak jauh beda dengan pemikiran Rahman.
Dalam setiap penafsirannya, Amina Wadud berusaha untuk relatif-objektif. Itulah mengapa Amina Wadud mensyaratkan perlunya seorang mufassir yang memahami weltanchauung atau world view. Dalam konteks poligami pun ia mencoba untuk menafsirkan ulang ayat tentang poligami tersebut dengan memakai analasis hemeneutika-feminisme yang dicetuskannya.
Menurutnya ada kesalahpahaman orang-orang dalam menafsirkan an-Nisa ayat 3 ini. Kebanyakan orang menganggap bahwa ayat ini hanya menjelaskan tentang pernikahan saja. Berbeda halnya dengan penafsiran Wadud, ia menjelaskan bahwa ada yang lebih substansi pada ayat itu dan bukan tentang pernikahan saja, yaitu keadilan terhadap anak yatim.
Yah memang benar, menurut Wadud substansi paling penting surat an-Nisa ayat 3 adalah keadilan terhadap anak yatim. Ada sebagian wali laki-laki yang menjadi tanggung jawab untuk mengelola harta dari anak yatim perempuan, tetapi ia tidak bisa berbuat adil. Maka ayat (4:3) ini adalah sebuah solusi bagi ketidakadilan tersebut.
Dalam pembahasannya Wadud menambahkan bahwa dalam berpoligami kebanyakan orang menggunakan alasan-alasan yang sama sekali tidak terdapat dalam al-Quran. Ia menyebutkan setidaknya ada tiga alasan yang seringkali dipakai oleh para pendukung poligami ini: Ekonomi, Isteri mandul, dan untuk memenuhi hasrat laki-laki yang hiperseks.
Menanggapi alasan-alasan tersebut, Wadud mengatakan bahwa semua alasan tersebut tidak terdapat dalam al-Quran. Dalam hal ekonomi, terkadang laki-laki yang secara finansial mempunyai kelebihan dianggap boleh untuk menikahi lebih dari satu isteri. Pendapat ini jelas keliru karena menganggap perempuan sebagai beban finansial. Karena di zaman sekarang kebanyakan perempuan menempuh dunia pekerjaan tidak hanya mengandalkan suami.
Isteri yang mandul pun sering dijadikan landsan bolehnya suami berpoligami. Walaupun sebenarnya memang mempunyai anak adalah sebuah naluri tersendiri bagi sepasang kekasih. Akan tetapi hal tersebut tidak lantas menjadikan poligami suatu kebolehan. Padahal jika dicermati, di zaman yang perang dan sedang porak poranda ini banyak sekali anak-anak yang menantikan uluran tangan. Walaupun hubungan darah memang penting. Akan tetapi menjadi tidak penting jika kita juga bertujuan untuk mengasuh dan mengurus.
Yang terakhir adalah tentang hasrat seks lelaki yang sangat tinggi. Bagi Amina Wadud, alasan tersebut tidak bisa diterima. Selain tidak terdapat dalam al-Quran, alasan seperti ini mengisyaratkan bahwa perempuan hanya sekadar objek seks belaka. Hal tersebut sangat bertentangan dengan al-Quran yang sering menjungjung tinggi perempuan.
Demikian penjelasan singkat dari penulis dalam men-deskripsikan pemikira Amina Wadud tentang poligami. Simpulan dari pemaparan surat an-Nisa (4-3) tertuju pada substansi ayat tersebut. Bagi Wadud ayat ini memiliki fungsi sebagai solusi atas ketidakadilan atas anak yatim.
Sehingga ia berada dalam kesimpulan bahwa poligami adalah solusi perkawinan dalam konteks laki-laki memperlakukan dengan adil anak yatim yang bertanggung jawab mengelola kekayaan mereka. Di sisi lain ayat tersebut juga membatasi jumlah isteri. Sehingga ayat tersebut dapat disimpulkan lebih menjunjung tinggi keadilan; terhadap anak yatim dan tentu saja terhadap isteri.
Wallahu a’lam.