Ketika Penistaan Agama Menjadi Komoditas Politik

Ketika Penistaan Agama Menjadi Komoditas Politik

Politik identitas yang membawa-bawa agama menjadikan situasi masyarakat semakin keruh. Penindakan pada ‘pelaku penistaan’ pun cenderung karena faktor kebencian dan tidaksukaan, bukan pada pertimbangan objektif.

Ketika Penistaan Agama Menjadi Komoditas Politik
Para peternak politik memanfaatkan segala hal demi kepentingannya. Pict by Nurul Huda

Dalam sebuah acara bertajuk Indonesia Lawyers Club yang ditayangkan salah satu TV swasta, seorang narasumber mengeluarkan statement yang memancing pro-kontra. Rocky Gerung, alumnus filsafat UI, mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi. Baginya, fiksi berbeda dengan fiktif. Fiksi konotasinya baik, sementara fiktif buruk.

Saat membuka laman facebook dan lini massa twitter, saya dipaksa untuk membaca banyak pendapat yang mengupas kata fiksi dan fiktif. Hasilnya bisa ditebak. Kubu yang selama ini mendukung aksi-aksi 212 cenderung membenarkan perkataan Rocky, sementara kubu seberang menyerang habis-habisan pernyataan itu.

Biasanya mereka akan menuntut dengan sebuah pertanyaan: di mana para demonstran itu? Tidak sadarkah kalau kemuliaan kitab sucinya diinjak-injak oleh pernyataan Rocky?

Beberapa orang kemudian melaporkan Rocky Gerung ke kepolisian atas dalih penistaan agama. Di sinilah letak permasalahannya.
Penggunaan berbagai simbol agama sebagai alat pidana menguat beberapa waktu belakangan. Yang sangat dahsyat tentu kasus Ahok yang melibatkan beberapa kali demonstrasi besar.

Setelah itu, puisi Sukmawati dipersoalkan. Ini pun memancing demonstrasi yang cukup besar beberapa waktu lalu. Terakhir adalah pernyataan Rocky mengenai kitab suci itu fiksi. Dari ketiga kasus tersebut, saya sama sekali tidak sependapat jika dipolisikan dengan dalih penistaan agama.

Terkhusus pernyataan Rocky, itu adalah pendapat pribadinya terkait kitab suci. Pemaknaan kata fiksinya, sekali pun berbeda dengan pendapat mayoritas dan kamus-kamus populer, harus dihormati sebagai kebenaran individu yang bisa diperdebatkan, tetapi tidak untuk dipidanakan.

Hal serupa berlaku bagi Sukmawati yang lebih nyaman mendengar kidung daripada azan. Itu adalah pendapat pribadi yang tidak bisa diintervensi. Toh, di Indonesia banyak sekali orang yang lebih suka menonton TV di saat azan berkumandang bersahut-sahutan. Anggap saja Sukmawati seperti masyarakat yang lebih memilih meneruskan menonton TV itu.

Yang menjadi masalah adalah ketika hal-hal yang menyinggung agama dibawa ke ranah politik. Kebenaran ditentukan bukan dari kejernihan pikiran, tetapi dari hitung-hitungan kawan dan lawan. Politik identitas yang membawa-bawa agama menjadikan situasi masyarakat semakin keruh. Penindakan pada ‘pelaku penistaan’ pun cenderung karena faktor kebencian dan tidaksukaan, bukan pada pertimbangan objektif.

Bagi saya, apa pun alasannya, baik Ahok, Sukmawati, dan Gerung, ketiganya tidak bisa dijerat dengan kasus penistaan agama. Pun ketika mereka memang berniat menistakan sekali pun, yang perlu dilakukan adalah memberinya penjelasan dengan lembut.

Hal ini dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW saat agama Islam terus-terus mendapat penolakan di kalangan bangsa Arab di awal kemunculannya. Sosok agung Nabi Muhammad kerap dipersekusi, dituduh penyihir, ayat-ayat Al-Quran dianggap sebagai sebuah kebohongan dan berbagai tindakan buruk lainnya.

Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Malaikat Jibril sampai menawari Nabi Muhammad SAW untuk meluluhlantakkan para kafir Makkah. Hal itu dilakukan karena saking jengkelnya Malaikat Jibril terhadap para kafir Makkah yang keras kepala. Namun Nabi mencegahnya dan justru mendoakan para penista itu agar diberi hidayah. Sebab agama adalah persoalan hati. Jika menegakkan agama tidak dengan hati, yang ada hanyalah mendirikan simbol-simbol kebanggaan, bukan inti dari agama sebagai rahmat semesta.

Biasanya, orang yang getol menyuarakan pembelaan terhadap agama selaalu mengutip pernyataan Buya Hamka “barang siapa yang diam saat agamanya dihina, lebih baik ia bungkus dirinya dengan kain kafan”. Sejak dulu, saya memahaminya sebagai penghinaan terhadap simbol-simbol keagamaan yang disalahgunakan. Misalnya saja korupsi pengadaan kitab suci, politisasi agama untuk meraup suara di pemilihan, memakan jatah anak yatim, menipu jemaah umrah dan lain sebagainya.

Itulah penghinaan yang saya pahami dari quote Buya Hamka. Tetapi jika ada orang menghina agama, misalnya dengan cara menyesatkan, tidak mengakui kebenarannya dan lain sebagainya, ada baiknya meniru apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu mendoakan sembari memberi pengertian dengan cara yang baik.

Wallahua’lam.