Ketika Pendakwah Menjawab Semua Pertanyaan, Petanda Baik atau Buruk?

Ketika Pendakwah Menjawab Semua Pertanyaan, Petanda Baik atau Buruk?

Ketika Pendakwah Menjawab Semua Pertanyaan, Petanda Baik atau Buruk?
Ilustrasi Penceramah

Ibnu Mas’ud, seorang Sahabat yang keilmuannya sangat tinggi dan jauh bila dibandingkan dengan para da’i ataupun ustadz zaman sekarang, pernah berkata:

وَاللّهِ إِنَّ الَّذِيْ يُفْتِي النَّاسَ فِيْ كُلِّ مَا يَسْأَلُونَهُ لَمَجْنُوْنٌ

Artinya:

“Demi Allah, sesungguhnya orang yang ketika ditanya setiap persoalan dia selalu menjawab (menggampangkan dalam berfatwa), maka dia benar-benar orang gila.” (Syarah as-Sunnah, Imam al-Baghawi, j. I, h. 209).

Hal senada pernah dilakukan oleh Imam Malik, satu dari empat Imam Madzhab yang keilmuannya diakui oleh dunia hingga kini. Alkisah seorang utusan dari Maroko pernah amat kecewa karena dari 40 pertanyaan titipan yang diajukan kepada Imam Malik, hanya 8 yang dijawab oleh beliau.

“Tiga bulan perjalanan kutempuh untuk menjumpaimu dengan pertanyaan dari kaumku, Apa yang nanti harus kukatakan pada mereka,” kata utusan itu menyampaikan keberatannya.

“Katakan saja bahwa Malik tidak tahu,” ujar Imam Malik.

Apakah Imam Ibnu Masud kurang alim? Tentu saja tidak. Apakah Imam Malik masih rendah ilmu pengetahuan keagamaannya? Sama sekali tidak. Dua orang itu adalah sosok yang sangat terpandang keilmuannya dalam khazanah Islam. Maka mengapa mereka tidak mau menjawab semua pertanyaan dan bahkan berpendapat hanya orang gila yang sudi melakukannya? Apakah mereka tidak berkehendak “melayani” umat sebagaimana tugas suci mereka? Bukan. Sama sekali bukan demikian alasannya.

Dalam khazanah keilmuan Islam, ditanyai persoalan agama dikenal dengan istilah “dimintai fatwa”. Bagi para ulama, fatwa bukanlah persoalan yang sembarangan. Perlu ada proses ijtihad yang dilakukan untuk memberikannya. Ijtihad itu dimulai dari memahami betul persoalannya, kemudian upaya untuk menggali dalil yang sesuai atau mendekati persoalan tersebut, dan baru kemudian merumuskan jawabannya.

Para ulama zaman dulu yang terkenal karena ketawadhuan dan kewiraiannya juga menghindari fatwa personal. Mereka lebih suka jika duduk bersama untuk melahirkan sebuah keputusan yang biasa disebut sebagai fatwa jama’i atau fatwa yang bersifat kolektif. Semakin banyak orang yang terlibat dalam merumuskan sebuah persoalan tentu akan membuat jawaban persoalan tersebut menjadi makin valid.

Agaknya hal demikian tidak berlaku di zaman sekarang ini. Manusia berlomba memburu sesuatu yang instan dan bersifat direct kepada persoalan. Inilah yang kemudian melahirkan fenomena ustadz-ustadz yang secara serampangan membuka segmen tanya jawab dan kemudian secara instan dan sporadis langsung dijawab oleh ustadz. Untuk memberikan efek meyakinkan, tidak jarang mereka akan mengutip dalil berupa Al-Qur’an ataupun Hadis, yang secara serampangan mereka kait-kaitkan dengan persoalan yang ditanyakan. Dengan model semacam ini, jamaah akan merasa puas meskipun sifatnya sesaat, dan ustadz bisa meningkatkan wibawanya.

Tidak jarang pertanyaan yang diajukan terlalu acak bahkan jauh dari spesifikasi keilmuan ustadz. Pertanyaan seputar asuransi, transaksi online, bahkan soal psikologi akan dibabat habis oleh ustadz meskipun sebenarnya dia tidak paham-paham amat dengan persoalan tersebut.

Jamaah yang menuntut jawaban yang instan tentu akan melahirkan ustadz instan pula. Semakin sering ia ditanyai, maka potensi ia menjawab secara serampangan akan semakin besar. Tentu saja, bilapun ustadz sebenarnya tidak memahami persoalan yang ditanyakan, ia akan gengsi berkata “tidak tahu” karena khawatir akan dianggap bodoh oleh jamaahnya dan ujungnya akan ditinggalkan.

Apakah ustadz-ustadz tersebut merasa lebih alim dari Imam Malik? Apakah mereka tidak takut dianggap gila oleh Sahabat Ibnu Masud? Wallahu a’lam.

Jika ustadz tidak boleh menjawabi semua pertanyaan, maka apakah yang bisa dilakukan oleh mereka? Sebenarnya jawabannya sederhana, yakni ustadz bisa melaksanakan fungsinya sebagai pemberi kemaslahatan bagi umat. Sebagaimana yang sudah dilakukan oleh KH Hasyim Asyari yang melayani umat dengan jalan pendidikan pesantren dan bela negara, atau yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan yang menempuh jalan perjuangan ekonomi umat dan pendidikan. Saya yakin, dua orang terhormat itu bukanlah orang yang banyak menjawabi pertanyaan umat, tetapi lebih kepada memberikan kemaslahatan apa yang paling dibutuhkan umat.

Jadi, sebaiknya ustadz tidak usah menjawab haram jika ditanyai apa hukum bekerja di perusahaan. Cukup berdayakan saja ekonomi umat. Ustadz juga tak usah mengajak untuk meninggalkan kemewahan duniawi apabila kendaraan mereka saja jauh lebih mewah dari kendaraan jamaah. Kami rindu dakwah bil hal.