Paus Fransiskus mengunjungi masjid Istiqlal, masjid kebanggaan bangsa Indonesia dan berdialog dengan sejumlah tokoh dan ulama tanah air hari ini (. Saya tertegun melihat foto-foto beredar dan bagaimana teduhnya para tokoh agama ini berbicara soal kemanusiaan, persaudaraan dan imajinasi dunia yang damai.
Lantas, saya melihat lagi film “The Two Popes” sebuah film biografi drama yang dirilis pada tahun 2019, disutradarai oleh Fernando Meirelles dan ditulis oleh Anthony McCarten. Film yang beberapa tahun lalu membuat saya berpikir dan menangis melihat bagaimana dua orang besar berbicara soal masa depan.
Film ini memang pertemuan fiksi antara Paus Benediktus XVI (diperankan oleh Anthony Hopkins) dan Kardinal Jorge Mario Bergoglio (diperankan oleh Jonathan Pryce).
Sosok ini kemudian menjadi Paus Fransiskus. Pertemuan ini terjadi pada tahun 2012, ketika Paus Benediktus mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Paus.
Film ini menggali konflik dan perspektif yang berbeda antara dua tokoh yang sangat berpengaruh.
Katolik–agama keduanya, Anda tahu, adalah agama terbesar dunia saat ini dan mereka adalah pemimpin. Ketika mereka bergeser—atau bahkan mendukung sesuatu—maka bandul dunia bisa dipastikan juga akan ikut berasa.
Termasuk juga relasinya dengan agama Islam sebagai agama yang dianut terbesar nomer dua. Maka, menonton ini kita seperti dihadapkan pada obrolan mereka yang sudah selesai terhadap dunia materi dan memikirkan orang yang berbeda.
Paus Benediktus XVI dalam lakon itu terlihat konservatif dan tradisionalis dan bijak berbicara dengan Kardinal Bergoglio. Ia progresif. Dua bandul representasi barat dan agama-agama.
“Saya tidak bisa menjadi bagian dari institusi yang berpaling dari orang-orang. Gereja seharusnya terbuka, seharusnya berbicara kepada orang-orang di jalanan, bukan di dalam tembok tertutup,” kata Kardinal Bergoglio
“Saya tidak berpaling dari orang-orang. Gereja adalah benteng yang harus melindungi tradisi dan kepercayaan kita,” katanya.
Di hadapan Perang yang Semoga Tidak Terjadi
Dalam konteks masa kini, saat dunia dihadapkan pada tantangan global yang kompleks, termasuk potensi perang dunia ketiga, “The Two Popes” menawarkan refleksi yang mendalam dan bernas dan harusnya bisa mengajak kita berpikir. Kita v
Konflik dan dialog antara Paus Benediktus XVI dan Kardinal Bergoglio menggambarkan tidak hanya perbedaan dalam Gereja Katolik, tetapi juga perbedaan dalam pandangan terhadap nilai-nilai moral dan politik yang mempengaruhi dunia secara luas.
Perdebatan Dua Pope ini, menuru saya bukan sekadar bagaimana tang peran Gereja dalam menghadapi masalah-masalah seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan bahkan ancaman perang, tapi bisa dilihat seperti peran agama menjadi alat untuk menyelesaikan segala problematika. Pertanyaannya, apakah mampu?
Sebagai manusia biasa, tidak ada yang bisa menjawab itu secara pasti dan pastinya ketika kita meninggal–di akhirat, mungkin bisa mengerti itu.
Tapi, film ini menjadi relevan dalam konteks saat ini di mana polarisasi politik dan ketegangan terus terjadi. Apalagi pendapatnya begitu jernih soal genosida Israel dan Palestina. Dan sayangnya, Israel mengindahkan hal itu.
Melihat lagi “The Two Popes” adalah melihat lagi kisah biografi dua tokoh gerejawi yang berpengaruh dan nilai-nilai universal dan perjuangan manusia.
Tentunya, saya masih menunggu apa saja yang dibicarakan di Masjid Istiqlal dan pesan apa yang ingin disampaikan kepada dunia, ketika Paus Fransiskus datang ke masjid terbesar dan di negeri muslim terbesar di dunia.