Ketika Orang yang Bermaksiat Lebih Baik dari pada Orang yang Taat

Ketika Orang yang Bermaksiat Lebih Baik dari pada Orang yang Taat

Ketika Orang yang Bermaksiat Lebih Baik dari pada Orang yang Taat

Tanpa disadari, kita sering pongah dengan keberhasilan sebuah ibadah. Acap kali kita sering jumawa dengan penilaian baik orang di dunia. Padahal pada sejatinya ketaatan ibadah itu motivasi ilahiah bukan motivasi insaniyah.

Kenapa harus berbangga dengan ibadah lantaran dianggap taat. Bukankah penilaian manusia saat ini tidak akan memberikan pengaruh apa-apa kelak di akhirat.

Memang, kita sering terjebak dalam situasi zaman yang serba penipuan. Ketaatan yang berbentuk ibadah seringkali orientasinya bukan semata-mata karena Allah tapi demi sebuah pencapaian dan target dunia serta kebahagiaan palsu. Dan itulah ibadah semu yang tak menghasilkan apa-apa.

Merasa bangga dengan prestasi ibadah sekalipun atas dasar ketaatan adalah perbuatan yang cukup potensial bisa mendatangkan riya’. Manakala sebuah ketaatan dibarengi dengan perasaan congkak maka bukan hal yang tidak mungkin akan menjadi kesia-siaan belaka.

Oleh karena itu, ketaatan harus dibarengi dengan kerendahan hati bukan dengan kesombongan diri. Ketaatan harus muncul atas dasar pertimbangan pengetahuan rohani bukan dengan dasar pencitraan.

Maka bukan sesuatu yang tidak mungkin jika kemaksiatan yang mendatangkan kehinaan dan kefakiran akan jauh lebih baik daripada ketaatan mendatangkan kesombongan. Sebagaimana dikatan oleh Ibnu ‘Athoillah as-sakandari

 معصية أورثت ذلا وافتقارا خير من طا عة أورثت عزا واستكبارا

Maksiat yang melahirkan kehinaan dan kefakiran jauh lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan sombong.

Kita akan menjadi sadar, bagaimana tidak akan menjadi lebih baik jika orang yang maksiat saja merasa dirinya hina (sadar dengan kesalahannya) di hadapan Allah, selalu berharap pengampunan dan tidak henti-hentinya meminta ampun kepada Allah. Sementara orang yang taat seringkali merasa dirinya lebih baik daripada yang lain, seolah-seolah tak ada satupun yang mampu sepertinya. Maka jelas sekali perkataan Ibnu ‘Athoillah as-sakandari bahwa kemaksiatan yang melahirkan kehinaan dan kafakiran jauh lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan sombong.

Berhati-hatilah dalam bersikap dan menjalankan ketaatan. Hindari rasa sombong, dan bangga diri dalam menjalani ketaatan. Merendahlah, karena kerendahan hati akan mendatangkan kebahagiaan yang hakiki.

Wallahu a’lam