Suatu ketika Nasruddin Hoja dituduh sebagai orang ahli bid’ah oleh tiga orang terpelajar, sehingga Nasruddin dipanggil ke pengadilan untuk menjalani sidang perkara.
Dalam pembelaannya, Nasruddin mengajukan pertanyaan kepada para penuntut, yaitu tiga orang terpelajar tadi. “Oh, Tuan-tuan yang bijak, apakah roti itu?”
Orang pertama menjawab, “Roti itu makanan”.
Orang kedua menjawab “Roti itu gabungan antara tepung, terigu, air, telur, dan mentega, yang dipanggang di atas bara api.”
Orang ketiga menjawab, “Roti itu berkah dari Tuhan.”
Setelah menyimak jawaban mereka bertiga. Nasruddin Hoja berkata pada sang hakim, “Tuan Hakim, bagaimana Anda bisa mempercayai tiga orang ini? Bukankan aneh bahwa mereka yang tak bisa mengatakan hal yang sama untuk menyebut makanan mereka sehari-hari dianggap melakukan kesalahan biasa, sedangkan saya dianggap pembid’ah!?”
Belajar dari cerita Nasruddin di atas, betapa sering pada masa kini kita jumpai kelompok-kelompok yang kerap kali menuduh bid’ah kepada kelompok yang lain. Hal semacam ini wajar sekali terjadi, karena adanya perbedaan kelompok-kelompok tadi dalam menginterpretasi bid’ah itu sendiri, hal ini serupa dengan ketiga orang terpelajar dalam kisah di atas dalam mendefinisikan roti. Ketiganya berbeda dalam mendefinisikannya.
Hikmah dari kisah diatas adalah, hendaknya untuk kelompok yang beranggapan bahwa bid’ah kesemuanya itu sesat, maka alangkah lebih bijak jika tuduhan itu dikembalikan ke kelompok mereka sendiri, sebagai koreksi agar anggota kelompok mereka tidak melakukan bid’ah. Jangan lakukan tuduhan bid’ah itu kepada kelompok yang menganggap tidak kesemua bid’ah itu sesat, karena sudah pasti mereka tidak akan terima.
Semoga kita bisa bijak dalam menggunakan kata bid’ah itu sendiri, karena dalam hal interpretasi bid’ah saja terdapat perbedaan antar kelompok-kelompok.