Seorang raja Mesir yang berkuasa pada masa itu bermimpi tentang 7 ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus, tujuh tangkai gandum yang hijau dan tujuh tangkai lainnya yang kering.
Lalu ia meminta para peramal kerajaan untuk menafsirkan/takwil mimpinya itu. Alih-alih memberikan jawaban, mereka malah menganggap bahwa mimpi itu kosong, tak ada artinya.
Seorang pelayan raja yang menguping pembicaraan itu tiba-tiba teringat seseorang yang dulu sama-sama dipenjara yang mampu menafsir mimpinya dan, berkat tafsirnya, menjadikan dirinya dipercaya sebagai pelayan raja. Siapakah sang penafsir itu? Ia adalah Nabi Yusuf.
Maka disampaikanlah mimpi sang raja itu kepada Yusuf. Berkatalah Yusuf, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang dituai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (masa krisis), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan. Setelah itu akan datang tahun, di mana manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).”
Rupanya ilmu tafsir Nabi Yusuf itu cukup mumpuni. Tafsir mimpinya yang rasional itu terbukti menjadi solusi jitu saat menghadapi krisis ekonomi (musim paceklik akibat kemarau panjang) di Mesir. “Cadangan devisa” yang didapat dari menimbun hasil panen 7 tahun sebelumnya dikonsumsi selama musim paceklik hingga musim hujan tiba.
Keahlian menafsir mimpi itulah yang kemudian membuat ia ditawari posisi penting oleh raja. Lalu Nabi Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan”.
Kisah ini bisa dibaca dalam Al-Quran surat Yusuf: 43-55 atau dalam Al-Kitab, Kitab Kejadian, pasal 40: 1-36. Kisahnya tak jauh berbeda. Cuma redaksi dan detailnya saja yang berbeda.
Jaman now, solusi Nabi Yusuf itu, lewat kemampuannya menafsir mimpi, dalam menghadapi masa krisis pada ekonomi agrikultur Mesir kuno barangkali tidak istimewa lagi. Banyak pakar ekonomi yang punya berbagai solusi dengan beragam sudut pandang. Kegiatan ekonomi pun makin rumit.
Sebagian negara bisa goyah kondisi ekonominya karena sebagian negara lainnya sedang melakukan perang dagang. Namun satu hal pada prinsipnya sama, baik pada masa dulu dan sekarang: cadangan devisa (“biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan”) menjadi salah satu faktor fundamental dalam mengelola kegiatan perekonomian negara.
Yang penting dari penggalan kisah Nabi Yusuf ini adalah bahwa beliau bukanlah tipe oportunis yang memanfaatkan situasi ekonomi untuk mengumpulkan massa dan menggulingkan rezim Mesir saat itu.
Bayangkan seandainya beliau menggandeng Siti Zulaikha, ke sana sini mengumpulkan massa, lalu ramai-ramai mensyiarkan tagar #1715SMGantiPresiden atau #KhilafahSolusinya. Alih-alih menyelamatkan ekonomi negeri, gerakan seperti ini malah “menceburkan” ekonomi ke dalam keterpurukan.
Sama halnya dengan ulah saudara-saudara Yusuf yang dulu membuangnya ke sumur karena iri dengki atas perhatian bapaknya, Nabi Yaqub, yang berlebihan kepada Nabi Yusuf. Peristiwa itu justru menjadi titik balik perjalanan hidup Yusuf hingga sampai pada posisinya sebagai pejabat tinggi Mesir. Jadi level Nabi Yusuf adalah solusi yang rasional dan visioner. Dengan ilmu yang diberikan Tuhan kepadanya, beliau berhasil mengatasi masa paceklik hingga selanjutnya ditawari raja posisi penting di kerajaan Mesir. Ilmunya menjadi berkah bagi seluruh warga Mesir kuno.
Lalu apakah setelah ilmunya terbukti membawa berkah sang raja lalu “berhijrah” pada ajaran nabi Yusuf? Dari keseluruhan cerita Nabi Yusuf yang termuat dalam QS Yusuf, tidak ada satu ayat yang menceritakan tentang itu.
Adakah yang menafsirkan kisah Nabi Yusuf ini sebagai upaya politik untuk mengambil alih kekuasaan? Para penggagas gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir menafsirkan pernyataan dan keputusan Nabi Yusuf mengambil jabatan menjadi bendahara kerajaan Mesir ini sebagai tamkin. Namun maknanya mengalami peyoratif menjadi suatu konsep, metode, dan cara-cara politik untuk merebut dan meraih kekuasaan. QS. Yusuf:55 (“jadikanlah aku bedaharawan”) dijadikan legitimasi untuk masuk ke dalam percaturan politik praktis: legitimasi untuk meraih kekuasaan raja/negara.
Sementara para ulama menafsirkan surat Yusuf ini secara utuh sebagai karunia Tuhan atas ilmu pengetahuan yang diberikan-Nya kepada Nabi Yusuf melalui perjalanan hidupnya. Keahlian yang dinisbahkan kepada Yusuf berupa tafsir mimpi dan kecakapan dalam mengelola perekonomian negara menjadi berkah bagi umat manusia. Itulah sejatinya makna tamkin.
Wallahu A’lam.