Ketika Nabi Mendamaikan Para Pencintanya

Ketika Nabi Mendamaikan Para Pencintanya

Nabi Muhammad Saw dikenal dengan sosok penengah, sang juru damai. Akhlak inilah yang perlu kita tiru.

Ketika Nabi Mendamaikan Para Pencintanya

Kira-kira antara tahun 2007-2008, penulis menghadiri khaul KH Amin Soleh Bangsri Jepara. Kiai Amin Soleh jelas bukan tokoh sembarangan. Terbukti dengan hadirnya tiga kiai karismatik: KH Sya’roni Ahmadi Kudus,  KH.  Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).

Dalam tulisan ini,  penulis hanya akan menyampaikan cerita Kiai Sya’roni. Beliau bercerita,  saat Rasulullah dan sahabat setianya,  Abu Bakar berada di gua Tsur, bersembunyi dari kejaran kaum kafir ketika perjalanan hijrah ke Madinah.

Sewaktu Rasulullah tidur di pangkuan Abu Bakar, tiba-tiba muncul seekor ular dari lubang kecil di gua Tsur. Karena tak ingin membangunkan Rasulullah, Abu Bakar sigap,  dan langsung menutup lubang tersebut dengan sorbannya. Ular tak kunjung pergi,  malahan sorban Abu Bakar dilahapnya. Lalu Abu Bakar menutup lubang itu dengan salah satu anggota badannya.

Ular pun akhirnya menggigit anggota tubuh Abu Bakar yang dibuat menutup lubang, Abu Bakar  meneteskan air mata, lantaran menahan sakit.

Air mata Abu Bakar menetes di pipi Nabi Muhammad. Beliau pun terbangun,  dan bertanya kepada Abu Bakar, apa yang membuatnya meneteskan air mata.

Nabi akhirnya mengetahui, Abu Bakar di gigit ular, karena tak ingin membangunkan beliau. Namun, Nabi tak serta merta menyalahkan, bahkan sampai membunuh ular tersebut. Nabi meminta klarifikasi kepada ular, atas perbuatannya.

Nabi bertanya kepada ular, kenapa ia menggigit Abu Bakar. Ular pun menjawab, bahwa yang salah Abu Bakar. Ia mengaku ingin melihat wajah Nabi, tapi dihalangi Abu Bakar. Lantaran itu ular menggigit sahabat Nabi yang kelak jadi khalifah Nabi yang pertama.

Akhirnya,  kata Kiai ahli tafsir dari Kudus itu, Abu Bakar dan ular pun halal bi halal.

Begitulah Nabi mendamaikan dua pencintanya. Keduanya Abu Bakar dan ular sama-sama ingin dekat dengan Nabi,  namun keduanya awalnya tak saling tahu akan cinta yang sama.

Sebagai catatan, dulu Kiai Sya’roni menyampaikannya dengan bahasa Jawa, dan karena waktu yang relatif lama,  penulis hanya mampu menceritakan dengan bahasa penulis yang mungkin berbeda redaksi, namun secara substansi Insya Allah tak menyimpang dari apa yang disampaikan beliau. Mungkin, kalau dalam ilmu hadits,  bisa disebut riwayat bil ma’na. Wallahhu a’lam.