Ketika Nabi Enggan Menghukum Sahabat yang Mengaku Berzina

Ketika Nabi Enggan Menghukum Sahabat yang Mengaku Berzina

Ketika Nabi Enggan Menghukum Sahabat yang Mengaku Berzina
Kaligrafi bertuliskan nama Nabi Muhammad

Saat ini banyak dijumpai sebagian saudara kita umat Muslim yang sangat menginginkan agar hukuman zina, rajam, potong tangan dan qishas diterapkan di Indonesia. Mereka beranggapan bahwa hukuman tersebut merupakan ajaran Islam yang wajib diterapkan sebagaimana kewajiban ibadah lainnya.  Padahal dalam prakteknya, Nabi SAW sendiri enggan menerapkan hukuman zina, meskipun ada perintahnya langsung dalam Al-Quran.

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim dari Buraidah, dia berkisah bahwa suatu saat Ma’iz bin Malik Al-Aslami pergi menemui Nabi SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku, karena aku telah berzina. Oleh karena itu, aku ingin agar engkau berkenan membersihkan diriku.”

Mendengar pengakuan Ma’iz ini, Nabi SAW menolaknya dan tidak menggubrisnya. Namun keesokan harinya, Ma’iz datang lagi kepada Nabi SAW sambil berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina.”

Nabi SAW tetap menolak pengakuannya. Untuk memastikan mental dan kondisi Ma’iz dalam keadaan normal, Nabi SAW mengutus seseorang untuk menemui kaumnya dan menanyakan kondisi Ma’iz. “Apakah kalian tahu bahwa pada akalnya Ma’iz ada sesuatu yang tidak beres yang kalian ingkari?,” tanya utusan Nabi SAW pada kaum Ma’iz.

Mereka kemudian menjawab, “Kami tidak yakin jika Ma’iz terganggu pikirannya. Setahu kami, dia adalah orang yang baik dan masih sehat akalnya.”

Untuk ketiga kalinya, Ma’iz datang menemui Nabi SAW agar beliau berkenan untuk membersihkan dirinya dari dosa zina yang telah diperbuatnya. Nabi SAW tetap menolaknya. Dan untuk kedua kalinya, Nabi SAW mengirimkan seseorang untuk menemui kaumnya dan menanyakan kondisi akal Ma’iz. Namun mereka menjawab sebagaimana jawaban pertama.

Ketika Ma’iz bin Malik datang keempat kalinya kepada Nabi SAW dan minta kepada Nabi SAW agar berkenan mensucikan dirinya dari dosa zina, maka beliau memerintahkan untuk membuat lubang eksekusi bagi Ma’iz. Akhirnya beliau memerintahkan kepada sahabat untuk merajamnya dan hukuman rajam pun dilaksanakan.

Dari kisah ini terlihat jelas bahwa Nabi SAW enggan mengeksekusi seseorang yang telah beberapa kali mengaku berzina dan minta dirinya agar dirajam. Jika sikap Nabi SAW demikian, maka kita sebagai umatnya seharusnya lebih berhati-hati lagi untuk menerapkan hukuman rajam dan sejenisnya. Bahkan hukuman rajam dan sejenisnya sebisa mungkin untuk dihindari dan menggantinya dengan hukuman yang lebih ringan. Karena sebagaimana sabda Nabi SAW, ‘Salah memberikan maaf lebih baik dibanding salah memberikan hukuman.’