Ketika Nabi Daud Diingatkan Oleh Seekor Katak Agar Tidak ‘Ujub

Ketika Nabi Daud Diingatkan Oleh Seekor Katak Agar Tidak ‘Ujub

Ketika Nabi Daud Diingatkan Oleh Seekor Katak Agar Tidak ‘Ujub

Suatu hari, Nabi Daud pergi ke sebuah pantai. Di sana, ia melakukan ibadah selama setahun penuh. Setelah selesai, ia berkata kepada Allah Swt, “Wahai  Tuhan, punggungku telah membungkuk, mataku telah lelah, dan air mataku sudah habis (disebabkan terus menerus menyembahMu). Kini, aku tak mengerti untuk apa ibadah yang aku lakukan ini”. (Maksudnya, Nabi Daud menyombongkan diri atas ibadah yang selama ini ia lakukan, pen.).

Tuhan pun membalas pertanyaan itu dengan mengutus seekor katak untuk menjawabnya. Katak itu berkata kepada Nabi Daud as., “Wahai Nabi Allah, ibadah yang telah engkau kerjakan itu apa engkau tidak serahkan saja kepada Allah (jangan pernah engkau sombongkan dan banggakan!). Demi Zat yang menggutusmu menjadi Nabi, selama ini, aku telah berada di padang pasir selama tigapuluh (atau tujuhpuluh) tahun. Di sana, aku juga beribadah dengan membaca tasbih dan tahmid kepadaNya.

Mendengar penjelasan si katak, Nabi Daud hanya bisa menangis karena ternyata ada makhluk Allah yang ibadahanya melebihi dirinya. Kisah ini penulis baca dari kitab Tanbih al-Ghafilin karya Abu Laits al-Samarqandi.

Kisah senada juga dijelaskan oleh Abu al-Syaikh al-Ashbihani dalam kitab al-‘Adzamah. Dikisahkan, Nabi Daud sedang berdoa kepada Allah, “Wahai Tuhan, ampunilah aku. Siapa yang dzikirnya lebih banyak dari apa yang aku lakukan?”.

Setelah itu, ia beribadah di sebuah batu besar di pinggir sungai, sampai pagi.

Setelah itu, seekor katak berkata kepadanya, “Wahai Daud, hendaknya engkau menyerahkan ibadahmu kepada Allah Swt. Aku yang hanya seekor katak saja bertasbih siang malam karena takut kepada Allah”.

Nabi Daud pun mencari katak itu dan melihatnya sedang berdiri berada di atas air sungai. Selepas itu, Nabi Daud berdoa, “Wahai Tuhan, ampunilah aku. Sungguh, aku sadar, nikmatMu ternyata lebih besar dan lebih utama daripada dzikir-dzikirku kepadaMu.”

***

‘Ujub adalah penyakit hati level kronis. Bahkan, ia termasuk penyakit yang akan merusak amal ibadah yang telah dilakukan. Imam Ghazali dalam Mukhtashar Ihya Ulumiddin  menyatakan bahwa ujub adalah sifat takabbur (tinggi hati) yang berada di dalam hati dengan membayangkan kesempurnaan ilmu yang dimiliki dan atau amal yang dilakukan.

Lebih lanjut, Imam Ghazali menjelaskan bahwa tidak dinilai ‘ujub manakala seseorang dalam amalnya merasa takut kehilangan amal/ilmu itu (karena berarti ia menyadari kelemahan dirinya) atau seseorang yang sadar bahwa apapun yang ia miliki merupakan nikmat dari Allah Swt. (bukan atas usaha dan jeripayahnya sendiri)

Karena ujub termasuk penyakit hati, maka ia tak pernah terucap oleh lisan atau terlihat oleh siapapun. Tak ada yang bisa mengenali dan mengetahui apakah seseorang telah terjangkiti penyakit ini atau belum/tidak melainkan dirinya sendiri dan, tentunya, Allah Swt.

Namun, menghindari amal ibadah karena takut ujub juga tidak dibenarkan oleh agama. Bagaimana cara agar terhindar dari ‘ujub?

Gampang! Dari penjelasan Imam Ghazali di atas, telah terbaca bilamana dengan menyadari dan meyakini bahwa apa yang ia kerjakan itu bukan atas usahanya sendiri, melainkan atas kuasa dan pertolongan Allah Swt. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Imam Syafi’i, sebagaimana ditulis Syihabuddin al-Ramli dalam Fathurrahman Syarah Zubab Ibn Ruslan, mengatakan bahwa jika seseorang takut amalnya terjangkiti sifat ‘ujub, maka hendaknya ia selalu ingat ridla Zat yang ia tuju (Allah), nikmat yang selalu ia cita-citakan (yakni nikmat dari Allah), dan siksa yang senantiasa ia ingin hindari (yaitu siksa dari Allah).

Walhasil, menjadi baik adalah keharusan. Namun mengaku dan merasa baik adalah larangan. Seorang muslim dituntut untuk terus berbuat baik dengan disertai sifat rendah hati dan mengaitkan apapun yang ia miliki dan lakukan kepada Allah Swt. Jangan sampai, pahala ibadah yang sudah dilakukan hangus karena ‘ujub. Nabi Muhammad Saw, bersabda, “Tiga hal yang membinasakan: rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ujubnya seseorang tehadap dirinya sendiri…” (HR. Baihaki dalam Syu’b al-Iman). [AK]