Ketika Muslim Menjadi Minoritas di Lingkungan Mayoritas Non-Muslim (Bag. 1)

Ketika Muslim Menjadi Minoritas di Lingkungan Mayoritas Non-Muslim (Bag. 1)

Ketika Muslim Menjadi Minoritas di Lingkungan Mayoritas Non-Muslim (Bag. 1)
Regina Mustafa bakal jadi muslimah pertama yang jadi walikota di Amerika

Penulis tidak bermaksud menyebut minoritas atau bahkan mayoritas dalam konteks kesadaran komunal, sebab selama ini kedua istilah ini seringkali mengarah pada hal-hal negatif, atau dipahami secara negatif. Misalnya, minor terkesan lebih inferior dan mayor cenderung lebih superior serta tampak berhadapan-hadapan secara langsung. Kita sering terjebak pada identitas kultural masing-masing yang membuat hubungan sosial menjadi renggang dan terpisah.

Kita perlu meletakkan secara teoritis bagaimana masyarakat Muslim yang hidup di lingkungan non-Muslim menjadi jelas pada batas-batas maksimumnya dan melihat keberadaan mereka secara langsung dalam kultur dan latar belakang yang berbeda, tapi sekaligus tidak bermaksud membeda-bedakan. Sehingga, kita, sebagai Muslim mayoritas dapat mengerti betapa menjadi minor itu tidaklah mudah.

Pernahkah kita membayangkan, sebagai muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat mayoritas non-Muslim? Seperti di negara-negara sekuler dan negara di mana non-Muslim mendominasi. Misalnya, sebuah negara yang sangat sulit menemukan masjid, mencari makanan halal, sulinya mencari tempat pendidikan Islam, atau bahkan sekedar hanya sebatas mencari tanda datangnya waktu sholat.

Muslim yang hidup di lingkungan seperti itu, tampak sangat sulit dan tentu banyak permasalahan yang mereka hadapi. Belum lagi jika ada perlakuan-perlakuan buruk seperti adanya berbagai tuduhan negatif yang sematkan kepada dunia Islam dan umat Islam itu sendiri. Seperti tuduhan sebagai ekstremis, teroris, gaya hidup yang tertutup/eksklusif, hingga sampai tak dapat hidup berbaur dengan masyarakat sekitar.

Menurut Data yang dirilis oleh PBB, sebagaimana penulis kutip dari halaman Resonansi Republika (14/5/18), ada lebih dari 550 juta Muslim yang hidup sebagai warga negara minoritas di negara-negara non-Muslim. Jumlah mereka sepertiga dari seluruh populasi umat Islam di dunia yang tersebar di enam benua, keberadaan mereka tentu di luar negara-negara yang masuk anggota OKI.

Di sebagaian negara-negara Asia, Eropa, Amerika Latin dan Afrika, minoritas Muslim banyak mengalami kesulitan. Seperti dalam hal pembangunan Masjid, beribadah di tempat kerja, mencari makanan yang halal, sampai pandangan-pandangan tak bersahabat dari masyarakat setempat kepada komunitas Muslim. Ini menunjukkan bahwa kebencian atau yang sering disebut Islamofobia memang benar-benar ada, tetapi ini tidak lantas menggambarkan pandangan mereka secara keseluruhan tentang Islam, hanya sebagian yang boleh jadi belum mengerti Islam yang sesungguhnya.

Baru-baru ini, ada seminar menarik yang terselenggara di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, bertajuk “al-Muktamar al-‘Alamy li al-Mujtama’at al-Muslimah: Mustabalu al-Wujud al-Islamy fi al-Mujtama’at ghoiru al-Muslimah / the International Muslim Societies Congress: the Future of the Islamic Presence in Non-Muslim Societies”. Seminar yang diselenggarakan dua hari pada 8-9/ Mei ini, membahas isu-isu krusial tentang persoalan kehidupan komunitas Muslim yang ada di negara-negara (mayoritas) non-Muslim, serta masalah apa saja yang sedang mereka hadapi.

Seminar ini dihadiri oleh perwakilan 140 negara, dengan jumlah 550 peserta. Para pakar dan lintas profesi dihadirkan, seperti akademisi, ulama, ahli hukum, pemimpin organisasi Islam, praktisi pendidikan dan para pemimpin komunitas Muslim yang tersebar di seluruh penjuru dunia, seperti dari Jepang hingga Amerika Latin. Tak lupa juga PBB turut diundang yang tentunya untuk memberikan pandangan mereka, terkait dengan hukum Internasional yang meliputi hak-hak dan kewajiban warga negara minoritas, dalam konteks ini minoritas Muslim.

Menariknya, tema seminar itu tidak menyebut istilah minoritas atau mayoritas. Sebab, seperti telah disebutkan, kata ‘minoritas’ memiliki konotasi negatif dan cenderung lebih rendah dari istilah ‘mayoritas’, seperti dalam teori linguistik-struktural, ada oposisi biner yang bekerja didalamnya, di mana yang satu lebih rendah dari yang lain, yang mayoritas lebih dominan dan superior dari minoritas, ini sama sesekali tak benar.

Justru yang digunakan adalah muslim societies, ini menandakan bahwa tidaklah elok jika kata ‘mayor’ dan ‘minor’ menjadi judul inti dalam membicarakan Islam dan komunitas Muslim yang melibatkan banyak negara dari seluruh dunia. Intinya, ‘muslim societies’ menunjukkan kesetaraan umat Islam dihadapan umat lainnya dan ada kesan kesetaraan atau sejajar, serta adanya sikap bahwa semuanya adalah warga negara yang sama tanpa ada perbedaan. Yang membedakan hanya adat-istiadat, suku, agama, asal-usul, atau latar belakang lainnya.

Paling tidak, seminar yang digagas dan didanai oleh Uni Emirat Arab ini, tepatnya oleh Menteri Toleransi bernama Sheikh Nahyan bin Mubarok al-Nahyan, memiliki arti penting dalam membangun jalinan harmonisasi bagi hubungan minoritas Muslim dan non-Muslim di negara-negara luar yang berpenduduk mayoritas non-Muslim. Pasalnya, kehidupan di UEA sangat harmonis, bahkan tingkat kriminalitasnya sangat rendah di banding negara-negara Timur Tengah. Itu artinya kehidupan yang harmonis itu dapat ditularkan, terutama sekali antarpemeluk agama yang berbeda.

Bersambung ke tulisan selanjutnya.