Ketika Mayoritas yang Pluralis Memilih Diam

Ketika Mayoritas yang Pluralis Memilih Diam

Sikap diam mayoritas Muslim terhadap intoleransi sebagian kecil Muslim fundamentalis bisa disalahtasfirkan sebagai tanda persetujuan

Ketika Mayoritas yang Pluralis Memilih Diam
Mengapa sih, sebagian umat islam kok sering merasa tertindas di negeri muslim terbesar di dunia ini? Apa ini sekadar perasaan saja? AP/Achmad Ibrahim

Indonesia dan Islam sedang berada di persimpangan jalan. Setelah berhasil keluar dari otoritarianisme Orde Baru, Indonesia sekarang sedang berada dalam tanda-tanya: apakah negeri Muslim terbesar di dunia ini akan berhasil menempuh jalan menuju tatanan sosial-politik demokratik, atau akan terjatuh ke dalam fundamentalisme?

Hari-hari ini pertanyaan itu mulai semakin merisaukan karena imaginasi tentang Indonesia yang demokratik dan Indonesia yang Islam sedang saling dipertengkarkan. Ini terjadi bukan hanya karena perdebatan tentang kompatibilitas antara demokrasi dan Islam belum selesai, atau mengalami jalan buntu, tetapi juga karena ekspresi-ekspresi politik mengenai proses demokratisasi di satu pihak dan “Islamisasi” di pihak lain sedang menuju ke arah yang semakin saling menjauh. Paralelisme antara Islam dan demokrasi ternyata baru merupakan harapan yang digemakan dari ruang-ruang diskusi akademis. Di luar ruang diskusi, kita menghadapi banyak paradoks, kontradiksi, dan konfrontasi di antara – dan di dalam – keduanya. Indonesia sedang riuh-rendah mengalami kemelut diskursif mengenai politik Islam dan politik demokratisasi.

Imajinasi tentang Islam dan Demokrasi di Indonesia

Sejak lama karakter Islam di Nusantara dianggap berbeda dengan karakter Islam di kawasan geografi dunia Muslim lainnya. Berinteraksi dengan hampir semua agama besar yang berakar di Barat maupun Timur, bergaul dengan tradisi kebudayaan lokal yang sangat beragam, dan bersilangan dengan berbagai arus kekuatan sejarah yang silih-berganti hingga kini, Islam di Indonesia memiliki pengalaman kultural yang panjang dengan pluralisme. Karena penjelajahan hitoris inilah Islam Indonesia dipercaya telah mewarisi watak moderat dan toleran. Ini misalnya dibuktikan dengan salah satu pengalaman politik terpenting keterlibatan Islam dalam perumusan dasar negara: kerelaan menanggalkan tujuh kalimat Piagam Jakarta.

Pengalaman ini membuktikan sikap akomodasionisme Islam terhadap sekularisme politik.

Namun demikian, penghadap-hadapan Islam politik pada masa kemudian terhadap otoritarianisme Orde Baru mengandung komplikasi paradoksal yang menempatknannya pada posisi antara oposisionalisme dan kompromisme. Di satu pihak, oposisionalisme telah mengakibatkan terjadinya marginalisasi ekonomi dan politik; tapi di pihak lain kompromisme telah membuat Islam terus bertahan dalam ruang pergulatan kultural.

Namun persis di tengah-tengah dialektik seperti itu dialog antara Islam dengan modernitas dan gagasan-gagasan mengenai demokrasi politik juga cukup berkembang dengan dengan intensif. Jelaslah bahwa selama tiga dasawarsa di bawah Orde Baru, ekspresi-ekspresi sosial-politik Islam mengalami divergensi yang amat beragam – sebuah situasi yang baru disadari kemudian membentuk perkembangan berikutnya di bawah era reformasi.

Sampai sejauh itu orang masih percaya bahwa meskipun diwarnai oleh pertarungan internal dalam memperebutkan wacana-wacana politik dan keagamaan, secara keseluruhan Islam Indonesia dianggap bisa memberi landasan kultural bagi pluralisme, toleransi dan inklusivisme, serta beberapa derajat sekularisme politik, bagi munculnya sistem demokrasi yang dibayangkan. Dalam gambaran seperti itu, ada banyak optimisme bahwa jenis Islam yang lebih kompatibel dengan demokrasi akan lahir dari Indonesia.

Multi-Diskursus Islam Indonesia

Sejak Orde Baru tumbang dan Indonesia mengalami proses demokratisasi pada awal abad ini, ekspresi-ekspresi Islam sebenarnya bergerak dalam spektrum yang luas, mulai dari oposisionalisme radikal-fundamentalis; akomodasionisme – yang konservatif, moderat, maupun progresif; hingga ke posisi integrasionis dengan politik sekular-liberal.

Sebagian dari ekspresi-ekepresi ini – di bawah sistem politik demokratis pasca Orde Baru – digaungkan melalui pelembagaan partai-partai Islam; sebagian tetap mengambil bentuk sebagai wacana-wacana terbuka di ruang publik; dan sebagian lainnya lagi diwujudkan menjadi suara-suara bising melalui kelompok-kelompok penekan yang sangat vokal. Ketiga bentuk ekspresi politik Islam itu, pada kenyataannya seringkali mewakili divergensi internal umat Islam Indonesia. Lebih khusus lagi fenomena ini juga mencerminkan antagonisme intra Islam dalam hubungannya dengan sikap mereka terhadap tatanan politik nasional dengan sistem demokrasi.

Partai-partai Islam di parlemen sebagian besar mewakili kepentingan-kepentingan kelompok Islam konservatif yang umumnya berwatak eksklusif. Mereka berakomodasi dengan sistem politik demokratis dan menjalankan fungsi representasi melalui mekanisme dan prosedur demokrasi. Di antara partai-partai Islam ini ada yang masih memiliki fantasi ideologis bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam seperti yang diamanatkan Piagam Jakarta.

Kelompok-kelompok penekan non-partai sebagian besar berkembang menuruti logika kepentingan komunal kaum Muslim pinggiran, yaitu pinggiran secara sosial-ekonomis maupun ideologis. Berwatak konservatif secara keagamaan maupun politik, mereka ini tidak mau atau tidak mampu masuk ke dalam sistem demokrasi, dan lebih memilih menjadi kelompok-kelompok penekan, tak jarang menjalankan praktek kekerasan dalam gerakan sosial-keagamaannya. Di antara mereka ada juga yang menjadi cabang dari gerakan internasional yang secara terang-terangan menolak demokrasi, menolak negara-bangsa, dan mendambakan tegaknya kekuasaan Islam global di bawah kepemimpinan kekhalifahan.

Sementara itu corak diskursif Islam yang lebih moderat dan lebih “a-politis” berakar pada kelompok-kelompok Islam tradisional yang misalnya terhimpun dalam organisasi-organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Pada kenyataannya jamaah dua organisasi besar ini tidaklah terikat seketat hubungan-hubungan yang bersifat hirarkis. Dalam orientasi politik maupun ideologis, jamaah kedua organisasi itu bersifat cair.

Di luar itu adalah umat yang mengambang. Mereka ini mewakili apa yang sering disebut “silent-majority;” yang secara politis maupun ideologis juga secair jamaah-jamaah organisasi sosial Islam mainstream seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dalam beberapa hal mereka ini juga mewakili pandangan sekular yang menyetujui pemisahan domain agama dari domain politik dan kenegaraan. Dalam pandangan-dunia mereka, religiositas lebih dianggap berada di wilayah personal ketimbang wilayah sosial-politik.

Demikianlah, keempat ekspresi diskursif sosial-politik keagamaan di kalangan umat Islam Indonesia itu seringkali bersaling-silang sesama mereka sendiri. Kontroversi internal ini sekarang menjadi lebih mencolok ketika kelompok-kelompok fundamentalis semakin vokal mengekspresikan sikap-sikapnya yang eksklusif dan radikal dalam memajukan kepentingan mereka.

Merevitalisasi  the Silent Majority, Menghadapi Agresivitas Fundamentalisme

Selama sepuluh terakhir ini terlihat bahwa agresivitas kelompok-kelompok fundamentalis telah menciptakan suasana ketegangan bukan hanya dengan kelompok-kelompok agama lain, tetapi juga dengan sesama organisasi Islam. Kasus penyerangan terhadap gereja dan para pendetanya, tuntutan penurunan patung Buddha, tuntutan larangan pertunjukan wayang, di samping tindakan-tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah dan Syiah, merupakan contoh-contoh yang menunjukkan tindakan mereka yang sudah sangat berlebihan. Di bawah agresivitas fundamentalis, Indonesia seperti sedang tenggelam ke dalam radikalisme keagamaan.

Yang lebih serius dari itu adalah bahwa negara kini mulai didikte untuk mendukung dan memfasilitasi kepentingan-kepentingan mereka. Persis di tengah-tengah suasana seperti ini, mereka juga mulai memanipulasi citra tentang Islam sebagai agama kekerasan, supremasis, anti-pluralis, eksklusif, dan komunalistik. Citra Islam yang seperti itu kini juga mulai menimbulkan resistensi berupa munculnya sentimen-sentimen Islamophobia.

Tetapi di atas semuanya, kekhawatiran yang lebih mendalam seharusnya perlu ditujukan kepada sikap diam dan pasif dari kelompok-kelompok Muslim mainstream. Sikap diam mayoritas Muslim bisa disalahtafsirkan sebagai tanda persetujuan terhadap tindakan-tindakan agresif kaum fundamentalis. Padahal – karena sikap moderat dan pluralis mereka – salah-tafsir seperti itu sebenarnya tidak perlu dan tidak harus terjadi.

Mendorong dan membuat mayoritas yang diam itu bicara, sekarang menjadi kebutuhan dan keharusan. Diskursus Islam yang moderat dan pluralis harus diangkat ke permukaan. Dengan mengatakan ini, yang dimaksud sesungguhnya adalah merevitalisasi diskursus Islam yang pro-pluralisme, pro-demokrasi, yang menjunjung rasionalitas politik pemisahan agama dari negara, pro-keadaban, pro etika publik, pro-kemanusiaan, dan singkatnya sejenis Islam yang berorientasi pada cita-cita kemaslahatan nasional. ***