“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena berharap surga-Mu, maka jauhkanlah surga itu dariku. Jika aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu, maka masukkan aku ke dalamnya. Tetapi, janganlah halangi aku dari melihat Wajah-Mu.”
Kutipan di atas hanyalah satu di antara banyak syair-doa yang menggetarkan dari seorang sufi perempuan, Rabi’ah al-‘Adawiyah. Syair-syair Rabi’ah al-‘Adawiyah memang hampir semua menunjukkan hubungan cinta kasih antara manusia dan Tuhan. Sebuah hal yang seringkali hilang dalam praktek beragama kita dewasa ini. Mengutip budayawan Emha Ainun Najib, masyarakat kita sekarang sibuk beragama dan lupa bertuhan. Jadi tak perlu heran, jika banyak kekerasan yang mengatasnamakan agama dan sama sekali tak mengindahkan ajaran cinta kasih Tuhan.
John D. Caputo dalam bukunya On Religion (2001), agaknya telah lama menyinggung perihal cara beragama manusia di era post-modern ini. Caputo menemukan konsep “agama cinta” yang meruntuhkan segala bentuk sekularisasi terhadap agama, bahkan hingga pemuatan simbol agama untuk komoditas komersial di berbagai lini.
Dalam bukunya tersebut, Caputo memulai dengan pengantar tentang ihwal cinta kasih Tuhan. Menurutnya, agama pada hakikatnya ditumbuhkan dari cinta. Agama lahir dari pertanyaan fundamental ala St. Agustinus, “Apa yang aku cintai ketika aku mencintai Tuhan?”. Dalam beragama, cinta berarti melampaui segalanya. Artinya, menjadi religius haruslah bersifat rendah hati terhadap kebenaran, bukannya sibuk dengan berbagai interpretasi atas kebenaran.
Caputo juga menganalisis fenomena dunia post-sekuler dan mengenalkan konsep “agama tanpa agama” yang dipinjamnya dari Derrida. Bagi Caputo, kini sudah tiada lagi kepastian yang diperoleh dari zaman sakral seperti Abad Pertengahan, di mana kehadiran Tuhan hanya sebatas diasumsikan saja. Supaya tetap dalam koridor yang benar, gagasan “agama tanpa agama” harus meninggalkan arti “agama yang sesungguhnya”; gagasan tersebut juga harus berpegang pada konsep kebenaran religius.
Penulis Amerika Serikat itu juga membantah suara-suara profetik dari Kierkegaard dan Nietzsche yang memproklamasikan kematian Tuhan. Caputo melihat apa yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. Dalam kenyataannya, “bunga agama” tetap tumbuh bermekaran dan pernyataan “Tuhan telah mati” malah mati dengan sendirinya.
Di sisi lain, Caputo tak lupa melucuti fundamentalisme agama yang disebabkan krisisnya rasa cinta dalam diri manusia. Ia menganggap bahwa membenarkan diri sendiri dan bertindak atas nama Tuhan (dan agama) adalah kesalahan fatal dalam fundamentalisme. Ketika Caputo mulai mengutip kembali pertanyaan, “Apa yang aku cintai ketika aku mencintai Tuhan?”, ia tidak dapat menerima jawaban kaku dari fundamentalisme.
Caputo sendiri adalah seorang post-modernist Heideggerian-Derridean yang mencoba melakukan pengkajian dan perumusan ulang atas makna dan posisi agama. Tanpa sungkan, ia mengombinasikan dekonstruksi Derrida dengan tradisi Katolik yang dipeluknya, lengkap dengan campuran skeptisisme Augustinian dan kutipan dari Alkitab. Namun meski ia seorang dekonstruksionis dan banyak mengutip perihal skeptisisme, tak lantas Caputo jatuh ke dalam nihilisme. Sebaliknya, secara tak langsung ia mencoba membangun kembali pemahaman manusia terhadap agama yang telah tergerus modernisasi.
Meskipun perspektif yang digunakannya sangat partikular, substansi yang dibicarakannya tetap sangat relevan dan penting bagi para pemeluk agama lain. Tawaran Caputo atas konsep “agama cinta” kiranya memiliki resonansi yang cukup kuat di kalangan kaum Muslim sendiri. Otokritik Caputo atas pendekatan legal-formal dalam agama, sesungguhnya juga bisa dilontarkan kepada semua agama. Dalam konteks Islam, diangkatnya spiritualitas Islam (tasawuf) seperti yang tertuang dalam syair-doa Rabi’ah al-‘Adawiyah, sesungguhnya bukan hanya kebutuhan para pemeluk agama di era modern, melainkan juga upaya untuk “mengguyur” agama dengan siraman cinta yang merupakan bagian esensial ajaran Islam.
Menurut Rudolph Otto, dalam fenomenologi agama terdapat dua situasi pertemuan manusia dengan Tuhannya. Yaitu ketika Tuhan tampil di hadapan manusia sebagai suatu “misteri yang menggetarkan” (mysterium tremendum) dan “misteri yang memesonakan” (mysterium fascians). Biasanya para ahli melihat Islam (dan Yahudi) mewakili situasi yang pertama, dan memosisikan Kristen pada situasi kedua yang didominasi cinta.
Sedangkan dalam khazanah pemikiran Islam klasik, kedua situasi pertemuan manusia dan Tuhannya biasa disebut dengan “aspek kedahsyatan yang menggetarkan” (jalal) dan “aspek keindahan yang memesonakan” (jamal). Sayangnya, dalam beberapa abad modern belakangan ini kaum Muslim seperti lupa pada sisi lain agama yang ada dalam aspek jamal tersebut. Maka, tak heran jika Islam dikategorikan sebagai agama yang secara khusus melulu berorientasi pada nomos (syari’ah dalam arti sempit: hukum) dan kering dari orientasi eros (cinta).
Hal ini sangat bertentangan dengan substansi Islam yang pada dasarnya lebih didominasi oleh ajaran cinta. Kita bisa melihatnya dari beberapa aspek yang ada. Dari segi sejarahnya, Islam sendiri merupakan agama yang diturunkan melalui utusan-Nya, Nabi Muhammad, dengan tujuan utama untuk memperbaiki akhlak umat manusia, yang dalam konteks zaman itu merupakan masyarakat Arab bar-bar.
Dalam ranah nash, kita dapat merujuk sebuah penelitian yang mengatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat lima kali lebih banyak ayat yang mengandung nama jamaliyah ini daripada jalaliyah. Hal ini bahkan diperkuat oleh argumen Ibn ‘Arabi Ibn ‘Arabi. Menurut ulama-filsuf Muslim tersebut, “Tidak ada perkataan ilahi dari Allah yang mengindikasikan sifat jalaliyah-Nya tanpa dibarengi dengan sifat jamaliyah-Nya. Hal itu berlaku dalam semua kitab suci, bahkan dalam segala sesuatu.” Dengan kata lain, Allah menampilkan dirinya sendiri lebih sebagai Zat yang indah dan memesona serta menimbulkan cinta kasih daripada sebagai suatu misteri yang menggetarkan.
Lantas, jika kita melihat segerombol orang yang memakai atribut agama di jalan dan memukuli orang lainnya sambil meneriaki nama Tuhan, maka pertanyaannya, Tuhan siapa yang mereka teriaki dan atribut apa yang mereka pakai? Jika pada dasarnya Tuhan mengajarkan cinta-kasih kepada umat manusia dan agama adalah jalan untuk meraihnya.
Mohammad Pandu, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute dan Gusdurian Jogja.