Ketika Makruf al-Karkhi Tidak Rela Mushaf al-Quran Miliknya Dicuri

Ketika Makruf al-Karkhi Tidak Rela Mushaf al-Quran Miliknya Dicuri

Meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah salah satu tanda kesempurnaan iman dan Islam seseorang. Seorang wali Allah bernama Ma’ruf al-Karkhi ini, misalnya

Ketika Makruf al-Karkhi Tidak Rela Mushaf al-Quran Miliknya Dicuri

Alkisah, seorang wali besar bernama Makruf al-Karkhi sedang berada di sungai Tigris, Irak. Keberadaannya di sungai itu adalah untuk mengambil air wudhlu. Agar mempermudah wudlunya, Makruf meletakkan dan menaruh terlebih dahulu barang bawannya, yakni berupa sebuah mushaf dan jubah.

Namun, tanpa diketahuinya, ada seorang perempuan yang datang ke lokasi Makruf mengambil wudhlu itu. Perempuan tak dikenal itu kemudian mengambil mushaf dan jubah milik Makruf, Sejurus kemudian, si perempuan pencuri pergi meninggalkannya.

Menyadari barangnya dicuri perempuan itu, Makruf segera bergegas mengikutinya. Akhirnya, mereka bertemu dan terjadilah dialog antara keduanya.

“Wahai saudaraku, aku Makruf. Tak masalah sebenarnya kamu mengambil barang-barangku,” tutur Makruf kepada perempuan pencuri itu.

“Namun, apakah di rumah, kamu memiliki seorang anak yang akan membaca mushaf yang kamu curi tu?” tanya Makruf menambahkan.

“Tidak,” jawab perempuan itu singkat.

“Atau, apakah suamimu juga akan membacanya?,” tanya Makruf menimpali.

“Tidak juga,” jawab perenpuan tadi.

“Kalau begitu, kembalikan saja mushaf itu kepadaku dan bawa saja jubahku!,” kata Makruf mengakhiri percakapan.

Siluet itu penulis sarikan dari kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah karangan al-Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi. Dan, kisah tersebut menjadi penting sebab memiliki banyak hikmah yang bisa kita jadikan ibrah (pelajaran) dalam kehidupan kita. Salah satunya adalah tentang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat.

Lewat kisah di atas, terang terbaca bagaimana dengan tegas Makruf al-Karkhi melarang si perempuan pencuri membawa mushafnya disebabkan karena memang tak ada yang akan membacanya. Mafhum mukhalaf-nya, jika mushaf itu akan digunakan sebagaimana fungsinya (dibaca, dihafalkan, dikaji, atau yang lainnya), maka Makruf akan mengikhlaskan untuk juga dibawa bersama jubahnya.

Gampangnya, seakan dalam kisah di atas, Makruf berkata, “Jika mushafnya akan dibaca, silakan dibawa! Namun jika tak ada akan yang membacanya, baik anak maupun suamimu, maka kembalikan saja kepadaku. Biar aku saja yang baca” 

Atau “kalau memang ada manfaatnya, ambil saja! Jika tidak, jangan diambil.”

Dari “analisis” ringan di atas, kita bisa membuat analogi, begini: Apapun itu, jika ada manfaanya, kerjakan. Jika tidak, tinggal saja. Masih banyak pekerjaan lain yang bermanfaat yang bisa dan harus dikerjakan!

Allah Swt. berfirman:

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (QS. Al-Mukminum [23]: 3)

Ayat di atas, dalam tafsir al-Munir, karangan Prof. Wahbah al-Zuhaili, dikelompokkan bersama dua ayat sebelumnya dan delapan ayat setelahnya (total sebelas ayat). Kelompok ayat ini sedang menjelaskan ciri-ciri orang yang beriman serta balasan yang akan didapatkannya. Salah satu ciri-cirinya adalah “menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak berguna”.

Yang harus ditinggalkan, masih menurut al-Zuhaili, tidak hanya hal-hal yang hukumnya jelas haram (terlarang) dan makruh (dibenci). Hal mubah (boleh) yang tidak ada nilai kebaikannya, baik terkait perbuatan atau perkataan, juga harus ditinggalkan.

Nabi Muhammad Saw bersabda:

“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi).

Walhasil, meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah salah satu tanda kesempurnaan iman dan Islam seseorang. Mereka hendaknya sangat berhati-hati dan penuh kewaspadaan dalam menggunakan waktu, tenaga, pikiran dan hartanya.  Semestinya, semua itu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang bermanfaat saja.