Ketika Khalifah al-Manshur Mendapat Nasihat Lewat Mimpi

Ketika Khalifah al-Manshur Mendapat Nasihat Lewat Mimpi

Ketika Khalifah al-Manshur Mendapat Nasihat Lewat Mimpi

Malam itu, khalifah al-Manshur kesulitan tidur. Tidur, bangun. Tidur, bangun lagi. Dan tidur, bangun lagi. Pokonya tidak jenak.  Hal ini membuatnya galau dan karenanya ia ingin mendapat solusi dari asistennya, ar-Rabi’.

Begini kurang lebih percakapan antara mereka berdua, setelah terlebih dahulu al-Manshur nimbali (memanggil) ar-Rabi’.

“Rabi, malam ini aku tak bisa tidur. Aku mengalami mimpi yang sangat aneh,” kata al-Manshur mencurahkan isi hatinya (curhat).

“Apa itu wahai al-Manshur?,” jawab ar-Rabi’ merespon curahan hati sang presiden..

Al-Manshur pun mulai buka suara dan bercerita.

Dalam mimpinya, al-Manshur merasa didatangi oleh seorang yang belum ia kenal sebelumnya (sebut saja, Fulan). Fulan, dalam mimpi al-Manshur, mengatakan satu dua kalimat. Sayangnya, al-Manshur belum sanggup memahami kalimat tersebut. Ia terbangun.

Namun, karena masih mengantuk, ia melanjutkan tidur kembali. Dan kejadiannya pun sama: ia bermimpi, ditemui orang yang sama (Fulan). Fulan mengucapkan kalimat yang sama seperti sebelumnya. Entah mengapa, lagi-lagi al-Manshur belum bisa memahaminya. Ia terbangun dari tidur lagi.

Peristiwa seperti di atas terulang lagi (mimpi didatangi Fulan dan diberitahu satu dua kalimat). Karena Al-Manshur tak kuasa menahan rasa kantuk, ia pun terlelap lagi. Dan Fulan pun kembali menemuinya dalam mimpi. Kalimat yang dikatakannya pun tak berbeda sama sekali dengan yang diucapkan pada kali pertama dan kedua.

Namun kali ini berbeda. Fulan mengulangi kalimat itu secara berulang-ulang. Tak ayal, hal ini membuat al-Manshur bisa memahaminya—dan bahkan sampai hafal. Begini kalimat yang dikatakan Fulan, sebagaimana dihafal al-Manshur.

Saya menduga, penghuni istana ini telah binasa. Para penghuninya telah meninggalkan dan mengabaikan.

Setelah bersukacita, para pemimpin telah berangkat ke kuburan (meninggal dunia). Yakni kuburan yang batu-batu besar dibangun di atasnya.

Al-Manshur kemudian berkata kepada ar-Rabi’ tentang tafsirannya sendiri terkait mimpi tersebut. Ia mengatakan bahwa agaknya ajalnya akan semakin dekat. Ia juga merasa bahwa tak ada yang benar-benar ia miliki dan bisa diandalkan kecuali Tuhan, Allah Swt.

“Tolong, siapkan perlengkapan mandi. Saya akan mandi!” pinta al-Manshur kepada ar-Rabi’.

Ar-Rabi’ sendiko dawuh. Permintaan al-Manshur pun segera dipenuhi. Setelah semua siap, al-Manshur bergegas mandi dan sejurus kemudian, ia melaksanakan shalat sunah dua raka’at. Tanpa diduga, setelah itu, tib-tiba al-Manshur menyatakan keinginan untuk menunaikan ibadah haji (peristiwa ini terjadi menjelang bulan Zulhijah, pen.).

Semua keperluan pun disiapkan saat itu juga. Tak lama berselang, rombongan kenegaraan pun berangkat menunaikan rukun kelima dalam agama Islam itu. Hingga suatu ketika, rombongan tiba di Kufah (Irak sekarang). Mereka menginap beberapa hari di sebuah daerah bernama Najaf.

Satu hari, al-Manshur meminta rombongan untuk terlebih dahulu melanjutkan perjalanan. Ia dan ar-Rabi’ menyusul belakangan. Secara tiba-tiba al-Manshur meminta ar-Rabi’ untuk menyiapkan arang dapur dan meminta ar-Rabi’ untuk segera meninggalkannya. Sepertinya al-Manshur sedang ingin menyendiri.

Setelah semua selesai, al-Manshur segera keluar dan naik kuda. Perjalanan haji akan kembali dilanjutkan. Namun, karena ada satu dua barang yang tertinggal di dalam penginapan, ar-Rabi’ masuk kembali untuk mengambilnya.

Di sana, secara tidak sengaja ar-Rabi’ membaca beberapa kalimat di tembok. Kalimat itu ditulis oleh al-Manshur menggunakan arang dapur yang tadi diambil oleh ar-Rabi’. Kalimat itu berisi curahan hati al-Manshur tentang hakikat kehidupan, kematian, dan dunia.

***

Salah satu hal yang bisa dipelajari dan direnungkan dari kisah di atas adalah tentang kematian, sebagaimana kalimat yang dikatakan Fulan kepada al-Manshur dalam mimpi. Kematian adalah segala hal yang akan menghentikan segala kenikmatan yang telah dimiliki.

Kematian hendaknya dimaknai dan dihayati secara bijaksana. Tanpa pemaknaan dan penghayatan yang sempurna, teori tentang kematian hanya akan menjadi konsep-konsep abstrak yang tak akan bernilai apa-apa bagi diri seseorang.

Berkaitan dengan kehidupan dan kematian, ada baiknya kita merenungkan kembali makna doa yang acapkali dilantunkan oleh para ulama berikut ini:

Allahummaj’alil hayata ziyadatal lana fi kulli khair. Waj’alil mautar rahatal lana ‘an kulli syarr. (Ya Allah, jadikan kehidupan sebagai sarana bagi kami untuk terus menambah kebaikan. Juga, jadikan kematian sebagai sarana bagi kami untuk berhenti dari segala keburukan).

Sumber Kisah:

Al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn Al-Hikâyat. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.