Ketika Ka’bah Sepi: Sebuah Muhasabah

Ketika Ka’bah Sepi: Sebuah Muhasabah

Saat pandemi seperti sekarang ini, boleh saja Ka’bah sepi. Tapi tidak di hati para abdi.

Ketika Ka’bah Sepi: Sebuah Muhasabah

“Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan” kata Joko Pinurbo. Tidak butuh alasan untuk rindu kota budaya ini. Tapi dalam beberapa hari terakhir, pemandangan di kota ini dan banyak kota lain berbeda. Pasalnya semua orang yang beraktivitas di kota ini mengubah gaya penampilannya. Mereka semua memakai masker, tanpa terkecuali. Fenomena ini lantas mengingatkan saya pada kondisi Yogyakarta sepuluh tahun lalu.

Peristiwa tahun 2010 membuat hati terasa perih. Indah Merapi pagi hari tiba-tiba terlihat ngeri. Tadi malam telah terjadi erupsi. Hampir seluruh wajah tersembunyi, tak berani menatap mentari pagi. Menyisakan kedua mata, persis seperti ninja Hattori. Bedanya, hari itu kita masih bebas bercengkrama, meski hanya sebatas ngopi.

“Benda, benda apa yang paling diperlakukan tidak adil oleh manusia?” baru saja datang pertanyaan ini dilemparkan. Sembari menenteng buku, pertanyaannya menantang. Namanya Agus, warung kopi tempat favoritnya. Kali ini di tangannya novel Kuntowijoyo berjudul Mantra Penjinak Ular. “Itu tolong masker dilepas dulu, pesen kopi dulu sana” jawabku seadanya. Waktu itu kami bertiga, temenku yang lain hanya melempar senyum sambil melanjutkan membaca. “eh, aku serius.. siapa yang bisa?” Pertanyaannya mendesak. “air..” Jawabku cepat. “Salah, yang benar batu.”

“Coba pikirkan, batu itu digunakan serampangan oleh manusia. “otak batu” untuk menyebut kebebalan otak manusia. “Kencing batu” untuk menyebut penyakit pada saluran kencing manusia. Nah, batu disimbolkan negatif kan? Nggak enak jadi batu”. Mendengar penjelasan ini Adi, temanku satunya diam-diam mulai ikut memperhatikan. Buku Arkeologi Pengetahuan karya Foucault ditutup rapat-rapat.

“Padahal kalau mau jujur, kita berhutang banyak sama batu. Rumah-rumah, jalanan, hotel, dan bangunan pada umumnya pasti bermula dari batu. Pasir adalah wujud terkecil dari batu. Belum lagi semen dan batu bata itu sendiri. Jelas-jelas sangat bermanfaat bagi kehidupan. Sudah sedemikian manfaat, kadang batu dianggap benda yang tajam dan berbahaya kan?” jelas ini pertanyaannya retorik dan tidak butuh jawaban. Sekali dua kali ia menghisap rokok Samsunya. “Sekarang kita naik sedikit, lihat saja bagaimana batu ini diperlakukan oleh manusia. Akik maupun batu mulia digunakan perhiasan, baik lelaki maupun perempuan. Belum lagi intan permata. Jelas batu-batu jenis ini sangat berharga dan diperlakukan istimewa.”

“Dalam konteks lainnya, batu punya nilai spiritual dan magis. Arca, candi Borobudur, candi Prambanan, dan candi-candi lainnya itu kan materinya batu, tapi tentu tidak sekedar batu. Terakhir, saat manusia meninggal dunia, ia akan ditandai oleh apa? Batu juga kan? Batu nisan”. pandai dia menutup cerita dengan konteks kematian.

Masih tentang batu, kalau boleh merenung sejenak maka kita akan mendapati bahwa “batu” kerap menyertai sejarah peradaban umat Islam. Ketenaran Muhammad sebagai seorang yang adil dan bijaksana dimulai dari peristiwa peletakan batu hitam (Hajar aswad) yang sempat diperebutkan para pemuka Quraish. Batu juga yang menjadi saksi mukjizat Musa ketika dengan tongkatnya mampu memancarkan sumber-sumber air. Dalam peristiwa lain, batu menjadi saksi wahyu pertama Nabi Muhammad, bukankah Gua Hira adalah perwujudan batu besar yang di dalamnya dapat dihuni manusia? Di dalam Gua lah nabi bersembunyi dari kejaran Quraish Makkah ketika Hijrah. Peristiwa Ashabul Kahfi juga erat kaitannya dengan Gua. Saking seringnya Gua hadir pada peristiwa-peristiwa Nabi, Ian Richard Netton lantas memaknainya sebagai simbol pertolongan Allah. Alhasil, tidaklah heran jika Alquran sering mengajak kita untuk berfikir salah satunya dengan mengamati kemegahan gunung, bentuk terbesar dari batu.

Fenomena Ka’bah sepi memang terasa pilu. Terlebih terjadi menjelang bulan suci. Ka’bah merupakan batu pertama yang diletakkan Nabi Ibrahim atas titah ilahi. Meski beberapa kali direnovasi, kesucian dan kemuliaan Ka’bah tak pernah terganti. Selain dilegitimasi secara normatif, Ka’bah kaya akan sisi histori.

Cerita tentang batu dapat kita jadikan renungan bersama bahwa material bendawi yang ada di muka bumi ditentukan nilai dan manfaatnya oleh manusia. Tentu melalui sejarah, peradaban bahkan ajaran keagamaannya. Begitu pula Ka’bah yang kini sepi. Mengunjunginya berarti kita tidak hanya sekedar menikmati keindahan bangunannya. Lebih dari itu, perenungan atas sejarah, nilai dan keagungan Allah lah jauh lebih penting. Umar bin al-Khattab dalam sebuah riwayat pernah menyatakan ketika hendak mencium Hajar Aswad:

Demi Allah, aku tahu kamu hanyalah sebuah batu. Sekiranya aku tidak melihat sendiri Rasulullah menciummu, pasti aku tak akan menciummu.”

Sikap Sayyidina Umar ini mengajak kita untuk tidak berhenti pada benda, bahkan yang dianggap mulia. Semua benda dan seluruh peritiwa yang terjadi di muka bumi dapat bernilai jika kita sampai pada penemuan atas kebenaran. Dan, yang sering terlupa bahwa dalam diri manusia pun terdapat tanda-tanda kebenaran itu. Ziarah ke Makkah-Madinah tak lain untuk menemukan keagungan dan kebenaran Allah. Tapi jangan lupa, kita dapat berziarah ke dalam jiwa, juga tak lain untuk menemukan kebenaran kalam-kalam ilahi. Inilah yang dimaksud dari sebuah pesan singkat Maulana Rumi “Jangan kau merasa sepi, seluruh dunia ada dalam dirimu”. Potensi diri untuk menemukan kebenaran dan mendekat kepada Allah juga termaktub dalam firmannya Q.S. Fussilat: 53;

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa (Al-Quran) itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Terakhir, saat pandemi seperti sekarang boleh saja Ka’bah sepi, tapi tidak di hati para abdi. Biar mulut tertutup masker, tapi hati bertahmid bertakbir. Para pedagang thawaf, berputar mencari rizki. Pekerja wuquf, berdiam serta mengabdi. Tak sedikit yang tahallul, memotong gaji untuk berdonasi. Para perawat ihram, berputih-putih melindungi diri. Mereka sa’i, berlari menolong yang terancam mati. Para kiyai mabit, bersimpuh memohon keselamatan negeri. Semuanya melempar jumroh, melempar ego juga emosi.

Tentu, saya sangat meyakini (haqqul yakin) bahwa di tengah sepi, setiap muslim pasti merindukan kondisi Ka’bah seperti biasanya. Namun demikian, dalam hal ini yang patut disadari dan dipikirkan secara mendalam yaitu fakta bahwa kebenaran ajaran dan keagungan Tuhan tidak terbatas pada simbol-simbol saja. Dalam setiap wujud di dunia, kebenaran dan keagungannya terpancar dan bersemayam di dalamnya.