Demonstrasi besar terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu. Masalahnya, banyak orang tidak suka dengan omongan penguasa. Katanya ada penistaan, lalu diperkarakan di kepolisian. Sayang, sekelompok orang buru-buru menghakimi. Mengatasnamakan suara umat Islam, mereka berdemonstrasi berkali-kali. Namun, di luar itu, tidak semua orang Islam merasa terwakili. Tidak sedikit yang merasa berlebihan ketika pendemo mengaku membawa suara umat Islam.
Setelah demo terjadi di ibukota, kejadian mengaku-ngaku sebagai pembawa suara umat makin sering terjadi. Di Yogyakarta misalnya, tempat di mana saya tengah belajar saat ini, sempat terjadi kejadian serupa. Ganjilnya, suara yang dibawa (lagi-lagi) hanya bersumber dari satu golongan saja. Bukan suara umat. Terlebih, pesan yang mereka lontarkan tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Tepatnya pada 4 November 2016, sekelompok orang yang mengatasnamakan Forum Umat Islam (FUI) “menggeruduk” kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Mereka mengajukan protes karena UKDW memasang gambar mahasiswi berjilbab di salah satu baliho kampusnya. FUI keberatan dengan baliho itu. Menurut mereka, ada pelecehan ketika seorang perempuan muslim berkuliah di kampus Kristen.
Meski pihak UKDW sempat memberi alasan bahwa kampusnya tidak dikhususkan untuk mahasiswa Kristen, protes tetap tidak surut. Dalam penjelasannya, pihak UKDW mengatakan gambar mahasiswa-mahasiswi yang dipasang di baliho (salah satunya mahasiswi berjilbab) adalah mahasiswa berprestasi di kampusnya. Namun demikian, baliho akhirnya dicopot. Pihak kampus mengaku tidak ingin bersitegang lebih lanjut dengan kelompok FUI.
Sebenarnya apa masalahnya ketika seorang muslim belajar di kampus yang tidak islami? Bukankah kita bisa membacanya sebagai sebuah kondisi di mana ruang-ruang belajar intelektual, terlebih yang sifatnya general sebagai sebuah universitas, tidak lagi tersekat-sekat oleh identitas keagamaan. Alasan lain tentu, bukankah nilai-nilai toleransi akan lebih mudah diimplementasikan ketika perbedaan-perbedaan itu disinggungkan?
Tentang bagaimana jilbab saat ini menjadi ciri khas muslimah tentu tidak bisa dimungkiri. Apalagi sejak tahun 2000, jilbab di Indonesia khususnya, menjadi tren yang semakin ke sini semakin populis. Bisa ditengok bagaimana mode yang digandrungi perempuan Indonesia tahun 1990-an dengan perempuan tahun 2000-an. Ciri yang paling kentara berada pada busana yang semakin “muslimah”. Ajang kontes London Fashion Week pada Februari 2016 kemarin boleh jadi cermin bagaimana jilbab sudah masuk dalam ajang busana kelas dunia. Dian Pelangi adalah desainer busana muslim asal Indonesia yang membawa jilbab ke kontes itu.
Kemajuan tren busana muslim di Indonesia ini memang bukan main. Pada tahun 2013 saja, Hatta Rajasa yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian mengatakan Indonesia sudah menjadi kiblat fashion muslim dunia. Bahkan, dikutip dari Swa.co.id, pasar konsumen muslim dunia semakin membesar. Pada tahun itu, daya beli konsumen muslim yang didominasi oleh fashion sudah sebesar dua triliun dolar Amerika.
Namun demikian, meningkatnya kemajuan tren berjilbab tidak selalu berbanding lurus dengan meningkatnya nilai keislaman yang terjadi di masyarakat. Alih-alih demikian, fenomena-fenomena seperti jilboobs ikut mengiringi perkembangan kemajuan tren jilbab di masyarakat. Jilbab bahkan dijadikan sekadar simbol yang dalam beberapa kasus terkesan tidak esensial dan cenderung dikapitalisasikan. Sedikit contoh pada strategi “jilbab halal” yang sampai menggandeng MUI untuk sertifikasi bahan bakunya.
Jilbab memang menarik untuk dikaji. Terlebih jika tarik sejarahnya, ternyata jilbab bukanlah budaya yang benar-benar jenuin milik Islam. Kita bisa tengok misalnya saja pada tahun 1500-an di Eropa, kita bakal melihat ketika itu jilbab menjadi pakaian yang menjadi ciri para penganut Yahudi.
Tapi apakah sejarah jilbab dimulai dari sana? Ternyata tidak. Selain menjadi ciri keimanan, jilbab juga pernah menjadi ciri dari masyarakat kebudayaan tertentu. Tepatnya pada tahun 550-330 Sebelum Masehi, Rusia (yang kala itu belum bernama Rusia) telah mengatur penggunaan jilbab/kerudung dalam undang-undang Achaemenid. Hal yang sama juga sudah dilakukan Yunani saat itu.
Peraturan tersebut pun diyakini muncul karena adanya peradaban yang lebih dulu ada seperti dari Asyiria dan Mesopotamia. Code Asyiria memuat aturan berkerudung, yang saat itu dikenal dengan nama hijb, dibuat pada tahun 13000 Sebelum Masehi. Warisan dari Code Asyiria dilanjutkan dengan Code Bilalama dan berlanjut di dalam Code Hammurabi di Mesopotamia pada 3000-2000 Sebelum Masehi.
Di beberapa negara yang punya banyak penduduk Islam, kita bisa menemukan banyaknya istilah untuk menyebut jilbab. Chador adalah istilah yang dikenal di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijab Mesir, Sudan, dan Yaman.
Menariknya, kita bisa menemukan istilah-istilah lain dari kitab-kitab suci agama selain Islam. Dalam Taurat yang menjadi kitab suci agama Yahudi misalnya, dikenal istilah tirefet yang searti dengan kerudung. Dalam Injil yang menjadi kitab suci agama Nasrani, Kristen, dan Katolik kita juga bisa menemukan istilah zammah, realah, zaif, dan mitpahat.
Dari sedikit saja paparan sejarah di atas, tentu kita sudah bisa membaca kalau jilbab bukan hanya milik satu agama tertentu. Bukan juga milik satu identitas kebudayaan tertentu. Jadi, terkait dengan adanya pengaku-ngakuan kepemilikan jilbab, tentu bisa dipertanyakan, jilbab mana yang tengah mereka perkarakan?
Aziz Dharma, Jurnalis kampus yang juga tengah belajar di Gusdurian Jogja.