Pertanyaan:
Saya seorang pengacara muda yang tinggal di Surabaya. Untuk kepentingan profesi, sering kali saya harus keluar kota. Saya sering bepergian Surabaya-Jakarta dua sampai tiga kali dalam satu minggu. Setiap kali naik KA Argobromo malam, sampai di Jakarta sekitar pukul 07.00 pagi, atau paling cepat pukul 06.00. Kondisi ini sangat tidak memungkinkan untuk salat tepat waktu, baik di stasiun maupun di hotel, atau di rumah. Bagaimana kalau saya salat di dalam KA saja, sambil duduk tentunya karena sangat tidak memungkinkan berdiri? Bagaimana caranya? Bagaimana wudhunya? Bagaimana juga dengan kondisi kemacetan jalan-jalan di Jakarta, bisa tidak menjadi alasan untuk salat di dalam kendaraan?
Jawaban:
Persoalan ini sudah dibahas oleh fikih, tapi sayang tidak dikaji ulang dalam konteks sekarang. DR Wahbah al-Zuhaili, misalnya, adalah salah satu pakar fikih kontemporer yang membahas persoalan ini, tapi masih dalam konteks padang pasir ratusan tahun yang lalu. Sehingga, yang dimaksud dengan kendaraan masih unta, kuda atau keledai, atau paling jauh perahu. Wahbah membedakan antara salat sunnah dengan salat lima waktu.
Untuk yang pertama, seseorang diperkenankan salat di atas unta, atau kendaraan lain tanpa kewajiban menghadap kiblat, dan gerakan ruku-sujudnya cukup dengan menunduk atau isyarat mata. Sementara untuk yang kedua, tidak diperkenankan dilakukan di atas kendaraan kecuali jika semua syarat, rukun dan gerakan-gerakannya bisa dilakukan dan terpenuhi persis seperti pada keadaan biasa. Katanya, hal ini merupakan pandangan mayoritas ulama fikih (al-Fiqh al-Islami, I/604-611).
Mestinya, keleluasaan harus juga diberikan pada salat wajib lima waktu sehingga bisa dilakukan di dalam kendaraan, tanpa harus turun terlebih dahulu. Gerakan-gerakan salat bisa dilakukan sesuai kemungkinan di dalam kendaraan, seperti salat sunnah. Apalagi konteks sekarang, mobilitas sudah menjadi tuntutan orang dalam melakukan aktivitas. Hampir sebagian besar orang perkotaan menghabiskan banyak waktunya di kendaraan. Banyak sekali kendala yang harus dihadapi ketika seseorang harus selalu turun dari kendaraan untuk menunaikan salat. Bisa soal parkir yang tidak mudah ditemukan, macet yang menghadang, ikatan janji yang bisa tidak terpenuhi, atau target pekerjaan yang akan terbengkalai.
Jika tidak diperkenankan, kebanyakan orang pasti akan meninggalkan salat. Sebagian mungkin akan mengganti (qadha) pada waktu lain, tapi sebagian besar akan meninggalkan begitu saja. Kondisi kesibukan dan transportasi yang ada sekarang sudah bisa menjadi alasan kuat untuk memperkenankan seseorang bisa salat wajib di dalam kendaraan. Beberapa ulama salaf juga ada yang memperkenankan hal ini, jika didasarkan pada alasan yang kuat. Alasan yang biasa disebutkan misalnya adalah perjalanan (safar), hujan, tanah berlumpur, di atas laut dan sakit.
Imam al-Syawkani (1255 H) termasuk di antara mereka yang memperkenankan salat wajib di atas kendaraan, punggung unta atau yang semisal dengannya (Nayl al-Awthâr, II/147-149). Argumentasinya adalah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan al-Turmudzi, “Bahwa Nabi dan para Sahabat, ketika itu Nabi sedang di atas kendaraan dan hujan baru saja turun, tanah juga penuh lumpur. Ketika waktu salat tiba, Nabi memerintahkan seseorang untuk mengumandangkan azan, kemudian iqamah, beliau maju ke depan dengan tetap di atas unta. Beliau memimpin salat di depan mereka, dengan gerakan isyarat untuk sujud lebih tertunduk dibanding ruku.”
Kata al-Syawkani, jika hujan dan tanah berlumpur saja bisa menjadi alasan untuk memperkenankan seseorang salat di atas kendaraan, maka perjalanan juga bisa menjadi alasan yang sama. Untuk konteks sekarang, tentu saja alasan bisa disesuaikan, di samping perjalanan jauh, juga kemacetan lalu lintas, susah menemukan tempat salat, atau mengejar jadwal kegiatan dan perjalanan tertentu.
Teks hadis lain yang memiliki semangat yang sama adalah tentang salat di atas perahu. Dari Ibn Umar ra, “Bahwa Nabi suatu saat ditanya tentang cara salat di atas perahu. Beliau menjawab, salatlah dengan berdiri, kecuali jika takut tenggelam” (Riwayat al-Hakim dan al-Daruqutni). Dalam hadis Jabir bin Abdillah ra disebutkan, “Salatlah dengan berdiri jika mampu, jika tidak mampu maka bisa dilakukan dengan isyarat gerakan, jadikanlah isyarat untuk sujud lebih menunduk ke bawah dibanding ruku” (Riwayat al-Baihaqi dan al-Bazzar).
Kata al-Syawkani, keleluasaan ini juga didasarkan atas berbagai argumentasi lain, yaitu kaidah-kaidah fikih. Seperti kaidah bahwa bertakwa itu harus sesuai dengan kemampuan (Al-Taghabun [64]: 16), bahwa Allah tidak akan memberikan beban di luar batas kemampuan (Al-Baqarah [2]: 223 dan 286), begitu juga bahwa perintah mengenai apapun harus selalu disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan. Dalam hadis Ibn Abbas, Nabi bersabda, “Apabila aku melarang sesuatu, maka tinggalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu maka lakukanlah sesuai kemampuan” (Ibn al-Atsir, Jami al-Ushûl, VI/24, hadits no. 3061).
Dengan beberapa argumentasi ini, bisa dipastikan bahwa salat di kendaraan bisa diperkenankan dengan berbagai alasan yang mendesak, disesuaikan dengan kondisi riil yang terjadi pada masyarakat. Dengan demikian, salat wajib yang lima waktu bisa dilakukan di dalam kendaraan pribadi, bus umum, kereta api, kapal laut, atau kapal udara.
Jika seseorang berada di dalam kendaraan, kemudian masuk waktu salat, sementara ia yakin perjalanannya akan mengalami kendala serius kalau harus turun keluar untuk menunaikan salat, maka bisa menunaikannya di dalam kendaraan. Khusus bagi yang melakukan perjalanan jauh, juga memperoleh dispensasi (rukhshah) untuk mengurangi jumlah raka’at (qashar) dan melakukan penggabungan (jama’) salat.
Jika sudah berwudhu, bisa langsung menunaikan salat di atas kursi. Jika belum, ia bisa berwudhu di dalam kendaraan kalau memungkinkan. Jika tidak, ia bisa ber-tayamum dengan menepukkan kedua telapak tangan ke atas kursi kendaraan, dinding, dashboard atau yang lain. Kemudian ia melakukan gerakan-gerakan salat dan bacaan seperti biasa. Hanya tiga hal yang membedakan, pertama ia tidak harus berdiri, kedua ruku cukup dengan membungkukkan badan dan ketiga sujud dengan membungkukkan lebih rendah dari sujud. Gerakan yang lain dan bacaan-bacaan, semuanya sama seperti biasa.
Pandangan ini sangat tepat dipraktikkan orang-orang perkotaan yang mobilitasnya tinggi di dalam kendaraan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nabi, “Agama itu sesungguhnya mudah.” Karena itu, baginda juga menyarankan agar, “Kabarkanlah kebaikan (dari agama) dan jangan buat mereka lari (dari agama ini). Berikanlah kemudahan bagi orang-orang (untuk beribadah) dan janganlah kamu membuat kesulitan bagi mereka” (Hadis Riwayat Imam Muslim, lihat: Ibn al-Atsir, Jami’ al-Ushul, III/207, no. hadits: 1077). Wallahu a’lam.
Syir’ah 30