Di tengah-tengah ngaji kitab Qomi’ut Tughyan karya Kiai Nawawi Banten (20/05/2018), Mbah Dem (Panggilan Masyarakat kepada KH Dimyati Rois) bercerita, perihal ketika Imam Syafi’i tidak berpuasa di salah satu siang hari bulan Ramadhan.
Saat itu, Imam Syafi’i sedang mengajar di Makkah. Di tengah-tengah aktivitas mengajar yang sudah berlangsung dari pagi, kira-kira jam dua siang tenggorokan Imam Syafi’i pun mengering. Lalu beliau berlari menuju sumur zam-zam, mengambil dan lalu meminumnya.
Apa yang dilakukan Imam Syafi’i membuat banyak orang yang ikut mengaji bertanya-tanya. Imam Syafi’i terlihat aneh, pasalnya orang-orang yang ikut mengaji berpuasa, tapi Imam Syafi’i tidak berpuasa.
Lalu, setelah Imam Syafi’i kembali ke tempatnya, orang-orang pun bertanya, kenapa Imam Syafi’i tidak berpuasa.
“Aku durung wajib kok (Saya belum wajib kok)” kata Mbah Dem menceritakan jawaban Imam Syafi’i dengan senyum yang khas, dan disambut tawa para santri.
Saat itu Imam Syafi’i, menurut Mbah Dem berumur dua belas tahun. Usia yang memang belum diwajibkan melaksanakan ibadah puasa. Namun di usia yang masih tergolong anak kecil—kalau sekarang masih masuk katagori anak baru gede (ABG)—sudah mengajar, bahkan kata Mbah Dem di kesempatan lain, yang ikut pengajiannya adalah ulama-ulama besar di Makkah.
Selain cerita di atas, Mbah Dem juga pernah bercerita, bahwa suatu hari Imam Syafi’i pulang ke rumahnya setelah lima tahun berguru dengan Imam Muslim a-Zinji di Makkah, dan sama sekali belum pernah pulang ke rumah. Imam Syafi’i bermaksud minta izin ibunya, akan pindah ngaji ke Imam Malik di Madinah atas rekomendasi dari gurunya, Imam Muslim al-Zinji.
Imam Syafi’i berlari pulang ke rumah. Setibanya, beliau mengetok pintu rumahnya dengan seru (red. terlalu keras atau agak keras).
“Siapa itu yang mengetuk pintu (dengan seru)” tanya ibunda Imam Syafi’i.
“Saya putra Anda, Syafi’i ibu, pulang mau minta ijin pindah ngaji ke Imam Malik di Madinah” jawab Imam Syafi’i
“Hai Syafi’i, kamu jangan pulang ke rumah, sebelum kamu punya akhlak (karena mengetok pintu dengan seru). Pergilah, tidak usah bertemu saya” lanjut ibunya.
Imam Syafi’i pun menangis, mencucurkan air mata sambil beranjak pergi dari rumahnya. Beliau kembali mencari ilmu. Dari Madinah, Irak sampai ke Mesir. Totalnya sudah tujuh belas tahun Imam Syafi’i tidak pulang rumah.
Suatu saat Imam Syafi’i minta tolong kepada orang dari daerahnya yang beliau temui di Mesir, untuk menanyakan kepada ibunya, apakah sang anak ini sudah cukup berakhlak.
Ibunya menjawab, bahwa Imam Syafii’ telah berakhlak, dan dipersilahkan pulang ke rumah.
Di sela-sela ceritanya tentang Imam Syafi’i itu, Mbah Dem gasakki para santri yang sedikit-sedikit minta ijin pulang rumah. Begitulah kiai kita, sering kali menasihati dengan cerita dan gasakkan, dan kita pun bisa mengambil pelajaran tanpa terasa didikte. Para kiai-kiai di pesantren selalu punya caranya sendiri dalam mendidik santri-santrinya.
Zaim Ahya, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.