Ketika Ibn Khaldun Mengkritik Tasawuf

Ketika Ibn Khaldun Mengkritik Tasawuf

Ketika Ibn Khaldun Mengkritik Tasawuf
DETIKCOM

Ia dikenal sebagai peletak dasar ilmu sosiologi modern. Karya-karya pemikirannya sering menjadi rujukan bagaimana memahami tipologi masyarakat. Ibn Khaldun, cendekiawan muslim yang mengagumkan ini, dikenal sebagai Bapak Ilmu Sosiologi. Tidak hanya menjadi referensi ilmu pengetahuan Islam, namun karya-karyanya bersanding dengan ilmuan Barat.

Ibn Khaldun lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M. Nama lengkapnya, Waliyuddin Abdurrahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Khaldun. Silsilah keluarganya dari Hadramaut, dan silsilahnya dari Wail ibn Hajar. Ia beserta keluarga hijrah ke Tunisia pada pertengahan abad 7 H.

Dari kisah yang ditulis Muhammad Abdullah Enan (Ibn Khaldun: His Life and Work), Ibn Khaldun merupakan pencinta ilmu sejak kanak-kanak. Keluarganya menjadi madrasah ilmu dan kehidupan, yang menjadikan jiwa Ibn Khaldun senantiasa terpanggil untuk mendalami pengetahuan. Dari motivasi keilmuan inilah, ia mengelana ke beberapa kawasan, masuk dalam pusaran kekuasaan, dan kemudian memilih jalan sunyi untuk menekuni keilmuan. Ibn Khaldun menulis secara tekun, hingga melahirkan mahakarya yang bergema hingga kini: Muqaddimah.

Dari pemikiran Ibn Khaldun, ia memiliki konsentrasi dalam bidang teori-teori keadilan. Menurutnya, ada delapan siklus keadilan, yakni: (1) Tidak ada otoritas kerajaan tanpa dukungan militer, (2) Tidak bisa ada militer tanpa kekayaan, (3) Rakyat menghasilkan kekayaan, (4) Keadilan menjamin kesetiaan rakyat pada negara, (5) Keadilan memerlukan harmoni di dunia, (6) Dunia adalah sebuah taman, dindingnya negara, (7) Syariat mengatur negara, (8), Tidak ada dukungan syariah kecuali melalui otoritas kerajaan (Alatas: 2016: 138). Konsentrasi Ibn Khaldun tentang teori keadilan, dari petualangan panjanganya di ruang-ruang riuh sekaligus senyap kekuasaan.

Namun, Ibn Khaldun juga mengkritik tasawuf yang cenderung diselewengkan oleh orang-orang Pandir. Khaldun bukan menghujat spiritualisme, namun menolak menggunakan tasawuf hanya sebagai simbol kedekatan diri hamba dengan Tuhan.

“Di antara ahli mistisme, ada orang-orang bodoh dan pandir yang lebih mirip orang gila daripada orang waras. Namun, mereka mengklaim telah mencapai kedudukan dan keadaan spiritual kewalian. Orang-orang dengan pengalaman mistis mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya, walaupun mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syariat. Informasi supranatural yang mereka berikan sungguh mengagumkan. Mereka tidak terikat oleh apapun. Mereka berbicara bebas sama sekali tentang hal itu, dan mengatakan hal-hal yang mengagumkan…” demikian ungkapnya dalam Muqaddimah, sebagaimana dirujuk Syed Farid Alatas, ketika menulis biografi Ibn Khaldun (Ibn Khaldun, Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi, Mizan, 2017).

Ibn Khaldun menyampaikan beberapa kritik terhadap tasawuf (Alatas, 2017: 125), di antaranya:

Pertama, doktrin sufi tentang keesaan penciptaan sama dengan pandangan Kristen tentang Mesiah dan juga pandangan Syiah Imamiyah tentang Imam-Imam mereka. Kedua, teori sufi tentang manifetasi Ilahi (tajalli) tidak dapat dipahami dengan baik, karena terlalu samar (ghumud)nya dan tidak dapat dipahami sama sekali (inghilaq).

Ketiga, teori sufi tentang wali kutub (quthb) hanyalah gaya bicara retoris, tidak dilandasi argumentasi agama, dan sama dengan teori Syiah ekstremis tentang garis imamiyah yang turun-temurun. Keempat, pernyataan para sufi tentang penyingkapan tabir (hijab) dan hal-hal terkait bersifat kabur dan ambigu (mutasyabih), dibuat ketika mereka mengalami ekstase, dan harus ditinggalkan karena pernyataan ambigu mereka tentang al-Qur’an.

Kelima, seorang sufi yang tengah berada dalam keadaan ekstase dan kehilangan persepsi indriawi bisa jadi mengungkap pernyataan ekstase (syathahat), yang isinya bisa jadi bertentangan dengan syariat muslim (ahl al-syar’).

Kritik-kritik Ibn Khaldun terhadap tasawuf, dalam rangka menghindari komodifikasi spiritualitas. Ibn Khaldun tidak menghujat proses kesalehan hamba Allah melalui ruang-ruang sufi, namun ia menolak mereka yang pandir dan bodoh, yang hanya berpura-pura saleh dengan berlindung di balik jubah sufisme (Munawir Aziz).