Ketika Hoax Merajalela, Saya Diselamatkan Ilmu Mantiq

Ketika Hoax Merajalela, Saya Diselamatkan Ilmu Mantiq

Ketika Hoax Merajalela, Saya Diselamatkan Ilmu Mantiq

Saya merasa beruntung pernah mempelajari ilmu Mantiq dan mengajarkannya beberapa tahun, meskipun saya cuma fokus pada satu kitab, yaitu Sullam. Selain menghafal nazham-nya, saya juga membaca syarah-syarah kitab itu. Masih segar di ingatan, bagaimana kenangan selama belajar; saya menemui guru seorang diri. Adakalanya hari hujan, hujan itu ditempuh juga. Adasaatnya kesehatan menurun, namun dikoyai juga. Ketika belajar, rasanya tidak seberapa yang masuk dalam otak. Namun keramat-nya berguru diperoleh ketika mengajar. Ketika mengajarnya, di dua pesantren, di sana pelajaran-pelajaran belasan tahun yang lalu itu membuncah kuat. Walau saya tidak menilai “tahqiq”, paling tidak “taqrir” bagi saya pribadi.

Tahukah kawan-kawan apa itu ilmu Mantiq? Secara sederhana Mantiq itu ialah ilmu yang mempelajari metode berfikir secara benar, lurus, dan menyeluruh, untuk menghasilkan natijah (kesimpulan) yang tepat. Dengan kata lain, Mantiq mengajarkan bagaimana menggunakan nalar dengan baik.

Keramat ilmu, saya rasa, begitu berguna ketika bersileweran informasi-informasi beragam dewasa ini. Salah mengambil info; keliru menganalisa, bisa menghasilkan kesimpulan yang fasid (rusak). Kalau kesimpulan yang fasid itu disebarkan, artinya secara berantai sudah mafsadah pula. Kalau kesimpulan, masih bolehlah, yang lebih lebih membuat naif itu apabila salah nalar dengan mengambil info-info tidak benar, belum jelas kepastiannya, lantas disebarkan dengan masif. Di sini Mantiq berfungsi mengarahkan seseorang untuk tidak gegabah bertindak. Ibarat kata pepatah Minang, “Dilayangkan pandang jauh, ditukiakkan pandang nan dokek.”

Berdasarkan pemahaman saya terhadap diri sendiri, Ilmu Mantiq setidaknya membuat saya:

(1) Lebih banyak diam. Diam sambil menganalisa, mengumpulkan banyak-banyak informasi dari sumber-sumber yang kredibel, sebelum menyimpulkan dalam sebuah keputusan yang bulat, tampa memprovokasi atau intervensi orang lain.

(2) Tidak tergopoh-gopoh menyimpulkan sesuatu. Ada berita, tidak lantas disebar begitu saja, ada cek dan kroscek. Di sini saya merasa prihatin menengok sebagian kawan yang, apabila, menerima satu informasi, tampa cek dan kroscek, langsung disebar apa adanya. Seandainya itu berita bohong, berarti ia sudah ikut andil membuat orang lain dalam kekeliruan.

(3) Lebih tenang dan santai. Sebab, “apapun bisa terjadi, siapapun bisa berbuat, dan ada banyak kemungkinan analisa yang dapat dikemukakan untuk sebuah kejadian.”

Mantiq itu adalah salah satu metode warisan ulama-ulama besar zaman silam. Bersama dengan Ushul Fiqih, Mantiq telah mewarnai kesimpulan-kesimpulan ulama terhadap masalah-masalah kehidupan-keagamaan. Oleh sebab itu, dalam biografi-biografi ulama ada kita baca bahwa ulama-ulama zaman dulu lebih banyak diam, bersikap tenang, tepat berbicara pada situasi terbaik, berbicara dan mengungkapkan sesuatu dengan sangat hati-hati.

Berdasarkan pandangan yang pendek ini, Ilmu Mantiq di pesantren-pesantren di kampung saya tidak begitu mendapat prioritas di kelas. Malah ada pesantren yang tidak mengajarkan Mantiq, ironis. Selain guru yang mengajarkannya sudah langka, juga karena ada anggapan bahwa Mantiq tidak terlalu penting. Saya heran.

Ada yang menilai seorang yang mantiqi itu pasif (banyak diam, banyak merenung), tidak asyik; yang asyik itu katanya aktif militan. Hei kawan!!! saat ini, banyak diam dan banyak merenung itu, itulah yang lebih manfa’ah. Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih.

Di akhir catatan ini, saya berdo’a semoga guru saya, yang saat ini masih sehat wal afiyat, seorang Syaikh Naqsyabandi Khalidi, sosok sederhana yang zhahir keramat itu, dilimpahkan Allah rahmat yang seluas-luasnya; panjang umur dan selalu menjadi wasilah nur keilmuan.