Kiai A.Wahid Maryanto, atau yang akrab dipanggil Kiai Acung, santri Gus Dur ketika di Pesantren Tebuireng, Jombang tahun 70 an, suatu saat bercerita kepada saya bahwa Gus Dur sering tak betah sendirian di rumah, baik ketika malam maupun ketika siang. Ia sering mencari-cari teman untuk sekedar menjadi tempat menyalurkan hasrat-hasratnya yang menggebu-gebu: bicara ngalor ngidul tentang kebudayaan, Agama, politik, partai, bangsa, negara, dunia. Juga tak ketinggalan tentang NU dan umat. Atau bercerita yang ringan-ringan berikut joke-joke menyegarkan, mencerdaskan yang membuat perut jadi sakit, karena dikocok-kocok. “Jika tidak ada tamu yang datang, maka aku sering dipanggil “bapak” untuk menemaninya ngobrol sambil memijat-mijat kaki dan tubuhnya yang kelelahan”, cerita Kiai Acung.
Manakala “bapak” diam saja dan tampak telah tidur, aku tinggalkan diam-diam. Tetapi meski begitu bahkan meski sampai mendengkur, “bapak” tahu kalau aku meninggalkannya, pulang ke kamar tamu di depan”. “Hmm, kamu pulang ya Cung”, kata Gus Dur. Dan Kiai Acung hanya menjawab singkat: “Inggih Pak, pun jam kalih”. Dan Gus Dur pun membiarkannya pulang, meninggalkannya sendiri. “Bapak” adalah panggilannya kepada Gus Dur.
Bila Gus Dur tak bisa tidur nyenyak dan tubuhnya terlihat bagai orang yang sedang resah di tempat tidur, rasanya aku bisa mengerti. Bagi tubuh yang menyimpan magma spiritual yang bergolak, kesendirian kadang amat menyiksa. Magma itu selalu ingin ditumpahkannya lalu mengaliri siapa saja yang ditemuinya.
Ibu Shinta suatu hari bercerita kepada aku: “Beberapa kali, pada malam-malam yang telah sepi, ketika tak ada lagi orang yang jaga (melek) Gus Dur, tiba-tiba meminta, setengah memaksa, untuk pergi ke suatu tempat yang jauh, di Jawa Timur. Ketika disampaikan “mas, ini sudah malam, sudah larut, sudah jam 02 dini hari”, Gus Dur tetap ingin betangkat saja. Anak-anak yang mendengar obrolan itu membantu ibunya. “Bapak, malam-malam begini sudah tak ada pesawat. Besok pagi jam 07.00 baru ada”.
Nah, beliau baru berhenti meminta, meski tampak beliau sangat kecewa. Ibu sebenarnya paham bahwa Gus Dur, malam itu, pasti sedang mengingat dan memikirkan orang-orang di Jawa Timur yang ingin sekali bertemu beliau. Ibu diceritai Gus Dur soal itu beberapa hari sebelumnya. Dan Gus Dur tak ingin mengecewakan mereka. Ia ingin memberikan kegembiraan atau menghibur hati mereka. Boleh jadi mereka sedang dirundung nestapa, mungkin sedang berharap memperoleh kegembiraan dari Gus Dur, mungkin pula ingin memperoleh “berkah” darinya. Atau mungkin karena alasan yang lain. Tetapi apapun alasannya, Gus Dur tak ingin mengecewakan mereka yang berharap.