“Negara lain sudah piknik ke bulan, kita masih mikirin hantu PKI” begitulah kiranya celetukan ala warung kopi yang boleh jadi pernah Anda dengar di lain kesempatan dengan sedikit perubahan pada objek dan predikat pelaku. Misal “Negara lain sudah piknik ke bulan, kita masih ributin bumi datar atau bulat”, “Negara lain sudah piknik ke bulan, kita masih dengerin Jonru.” Celetukan yang berkaitan dengan Jonru boleh diabaikan karena tidak penting, namun perlu dipahami bahwa celetukan tersebut merupakan bentuk keprihatinan pada bangsa kita yang notabene mayoritas Islam mengelola isu-isu yang berkaitan dengan progesifitas zaman, termasuk dalam gagasan interstellar atau eksplorasi luar angkasa.
Umat Islam sering digambarkan tertinggal 1000 tahun kebelakang menilik pada wacana skolastik yang muncul ke tengah ummat. Para pengkhotbah, pengarah prasangka di atas mimbar masih memperkelahikan kisah-kisah politik yang terjadi di masa lalu dibandingkan berupaya sungguh-sungguh membimbing ummat Islam melewati akselerasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini menandakan, dalam pola skolastik Islam tengah terjadi kemandegan tema, atau setidaknya kampus-kampus pencetak intelektual muslim masih taklid atau terjebak pada berhala-berhala rutinitas, alih-alih berupaya menjadi pembaharu (mujaddid).
Jika dunia bergerak maju, sementara kaum muslim masih saja sibuk dengan hal-hal yang kontra produktif seperti di atas, maka penulis khawatir, umat Islam benar-benar menjadi kaum tertinggal di bumi ini. Karena secara literal, umat Islam benar-benar telah di tinggalkan oleh komunitas lainnya yang lebih adaptif terhadap gagasan-gagasan baru, salah satunya adalah gagasan interstellar atau perjalanan antar bintang.
Bagaimana tidak? Progres-progres baru semakin menampakkan diri tanpa rahasia lagi. Beberapa tahun lalu, Julian Marchiorri misalnya, telah menemukan daun sintetik dari sutera yang dapat menghasilkan oksigen sendiri. Penemuan tersebut menjadi langkah awal produksi oksigen kontinyu dalam pesawat ruang angkasa, yang memastikan perjalanan ruang angkasa tidak akan lagi terkendala oleh terbatasnya oksigen.
Tidak kalah menarik adalah upaya menumbuhkan bahan pangan sendiri dalam pesawat ruang angkasa juga secara kontinyu, sehingga batas antara interstellar saat ini hanya dihalangi oleh kemajuan daya tahan pesawat serta kecepatan yang membawanya.
Akan tetapi bagaimana reaksi muslim terhadap gagasan interstellar? Tentu saja skeptis bahkan defensif. Misalnya diwakili oleh panel fatwa di Uni Emirat Arab, berkaitan dengan rencana beberapa ratus orang “mampu” dari Arab Saudi yang ingin ambil bagian dalam proyek menghuni Mars.
Panel fatwa di bawah pimpinan Syaikh Faruk Hamada sebagaimana dikutip Khaleejtime.com tersebut memfatwakan haram serta melarang perjalanan luar angkasa yang digambarkan sebagai tindakan bunuh diri, yang artinya tindakan dosa dalam Islam. “Perjalanan macam itu membawa mudarat terhadap hidup, yang mana tidak dapat dibenarkan oleh ajaran Islam, akan ada kemungkinan individu yang pergi ke Mars tidak akan mampu bertahan hidup dan lebih dekat dengan kematian.”
Fatwa ini menambahi beban fatwa esoteris lainnya terhadap upaya muslim turut serta dalam proyek interstellar. Jauh belakangan seorang astronot Muslim asal Malaysia yang berkontribusi dalam proyek stasiun luar angkasa Russia mengeluhkan cara dia menghadap Tuhan ke Kiblat, dalam hal ini Ka’bah yang berada di bumi. Demi membantunya, panel fatwa Malaysia menerbitkan tata cara ibadah di luar angkasa yang ternyata lebih merupakan kajian yang ikut bingung dibandingkan upaya tegas memberikan bantuan pada sang astronot. Fatwa tersebut memberikan kebolehan kepada astronot untuk sholat menghadap ka’bah dalam garis trayek yang dia cari sendiri, tapi bilamana kondisi pesawat berputar sang astronot dibolehkan sholat menghadap arah mana saja, ke mana saja.
Kegagapan serta kebingungan tersebut sebenarnya perkara yang sangat serius, karena umat manusia telah terbukti dalam sejarah mampu melakukan hal yang dahulu tidak pernah dibayangkan di era para Nabi. Misalnya terbang, menembus inti bumi, menyelam ke kedalaman laut, mengorbit di angkasa, menciptakan facebook.
Jika para santri calon-calon pengisi mimbar masih dipasok gagasan-gagasan medieval, terlalu menghafal kisah perang kekhalifahan, mencatat dosa-dosa para tokoh Islam masa medieval yang dikategorikan sesat, khawarij, dan seterusnya disitu kadang saya merasa sedih menjadi bagian dari umat Islam milenial.
Terlebih setelah saya membaca berita online terkait maraknya demo-demo dengan angka khusus, terkadang saya malah ingin capek-capek naik ke gunung lalu lompat ke kawahnya. Seolah kita sudah tak ada harapan.