Rasa sayang dan cinta terhadap lawan jenis termasuk salah satu bentuk karunia Tuhan kepada hamba-Nya. Andaikan rasa sayang itu tidak ada mungkin hidup tidak seindah ini. Tidak aka nada keluarga, keturunan, dan peradaban. Karena itu, Islam membolehkan pernikahan sebagai bentuk ekspresi kecintaan seorang laki-laki kepada pasangannya, ataupun sebaliknya.
Pada masa Rasul hidup pun beliau memaklumi adanya rasa cinta antara sesama sahabat, tentunya antara laki-laki dan perempuan. Bahkan sesekali beliau ikut menjadi mediator pasangan yang ingin menikah atau bagi laki-laki yang ingin mengutarakan niat nikah kepada pasangannya.
Dalam hadis riwayat al-Bukhari dikisahkan, dulu ada budak bernama Barirah dan Mughits. Keduanya adalah pasangan suami istri. Tetapi Barirah memilih berpisah dengan Mughits ketika dia dimerdekakan oleh ‘Aisyah. Dalam hukum Islam, ketika budak merdeka, dia diberi hak pilih untuk tetap bersama suaminya yang masih budak atau pisah. Saat itu, Barirah lebih memilih berpisah dengan suaminya.
Mughits tidak terima dengan putusan Barirah. Dia selalu mengikuti Barirah ke manapun dia pergi, sambal berharap balas kasihnya. Mughits pun meminta Barirah sambal menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya.
Melihat perjuangan Mughits itu, Rasulullah berkata kepada pamannya, Abbas, “Wahai Abbas, tidakkah engkau heran betapa besar cinta Mughits kepada Barirah, namun betapa besar pula kebencian Barirah kepada Mughits”.
Karena kasihan dengan Mughits, Rasul membujuk Barirah untuk menerima Mughits sebagai suaminya. Rasul berkata, “Bagaimana kalau kamu balikan dengan Mughits”
“Wahai Rasul, apakah engkau memerintahkanku” Jawab Barirah.
“Tidak aku hanya menjadi perantara” Balas Rasul.
“Aku tidak lagi membutuhkannya” Tegas Barirah.
Tampaknya hati Barirah sudah tertutup untuk Mughits. Dia lebih memilih berpisah, ketimbang hidup bersama. Rasul pun tidak punya kuasa untuk memaksa. Karena ini persoalan hati.