Ketika Berdakwah, Mengapa Kita Dilarang Mencaci?

Ketika Berdakwah, Mengapa Kita Dilarang Mencaci?

Mencaci dalam berdakwah justru dapat menjadikan orang lain menjauh dari dakwah yang kita sampaikan.

Ketika Berdakwah, Mengapa Kita Dilarang Mencaci?
Gambar: Mashable

Dakwah merupakan suatu yang penting dalam umat islam, dimana Nabi menganjurkan juga umatnya untuk menyampaikan dakwah. Dengan apapun caranya, entah mengajar, ceramah, menulis, dan lain-lain.

Dalam berdakwah, seorang dai mesti sesuai dengan tuntunan berdakwah yang telah disebutkan dalam Al-Qur`an surat An-Nahl ayat 125:

أُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125)

Membaca ayat di atas, kita dapat memahami bahwasannya seorang dai harus menggunakan metode yang baik, entah dalam menyampaikan maupun membantah pendapat orang lain. Kesantunan harus tumbuh dalam jiwa seorang dai, karena ia akan menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat.

Hal yang harus diwaspadai dalam berdakwah adalah mencaci maki, bahkan menghina. Entah dalam keadaan apapun hal ini harus dihindari, karena hal itu, barangkali, malah menjadikan seseorang makin bertambah melenceng dari jalan kebenaran, dan hatinya makin menolak apa yang disampaikan sebab penghinaan maupun cacian yang mereka dapatkan sebelumnya.

Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitab al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd ketika menerangkan cara mengajak suatu kaum yang mengalami kerusakan dalam akidah mereka, yaitu dengan cara yang lembut dan lunak, Imam al-Ghazali menerangkan:

فَإذَا زَالَ شَكُّهُ بِذَلِكَ الْقَدْرِ فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُشَافِهَ بِالْأَدِلَّةِ الْمُحَرَّرَةِ عَلَى مَراسْمِ الْجِدَالِ، فَإِنَّ ذَلِكَ رُبَّمَا يَفْتَحُ عَلَيْهِ أَبْوَابًاً أخَر مِنَ الإِشْكَالَاتِ.

Apabila keraguan telah hilang (dari mereka) dengan cara itu, maka tidak diperkenankan untuk membodoh-bodohi dengan dalil-dalil yang memancing perselisihan. Sesungguhnya hal itu, barangkali membukakan pintu-pintu masalah yang lain. (Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Dar el-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan pertama tahun 2004, halaman 15)

Penjelasan Imam al-Ghazali tersebut, melecut dan mengingatkan untuk menerapkan metode yang tepat dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Tentunya menghindari cacian yang berimplikasi pada menjauhnya seseorang dari hidayah Allah SWT.

Syaikhah binti Hitou juga menjelaskan hal yang sama dengan Imam al-Ghazali dalam kitab al-Haqoiq al-Jaliyyah fi Syarah al-Kharîdah al-Bahiyyah:

“Adapun memulai berdiskusi dengan seseorang, dengan merendahkan akal, guru-guru, mazhab, serta menghinakannya, maka ini bukanlah sikap orang yang ingin memberi manusia petunjuk kepada jalan yang benar, namun barangkali hal itulah yang menjadi sebab tetapnya mereka dalam kebatilan, sedang orang yang mencaci tadi beranggapan bahwa ia telah melakukan perbuatan yang baik.” (Syaikhah Binti Khitou, al-Haqoiq al-Jaliyyah fi Syarah al-Kharîdah al-Bahiyyah)

Demikian penjelasan mengenai mengapa kita tidak boleh menyertakan cacian dalam berdakwah. Karena tujuan dari dakwah adalah mengajak manusia supaya menedekat kepada Allah SWT, bukan malah menyebabkan mereka makin menjauh dari jalanNya.

Wallahu a’lam…