Dalam kerjanya, seorang dokter akan menggali keluhan pasien sebagai salah satu langkah untuk mendapatkan diagnosis penyakit yang diderita. Kadangkala, keluhan yang disampaikan pasien bisa beragam: bisa hanya satu keluhan, atau banyak sekali yang dirasakan. Keluhan dan gejala ini yang akan dicermati oleh dokter. Tentu saat berkunjung ke dokter, Anda akan ditanya mengenai keluhan sakit yang Anda rasakan bukan?
Identifikasi keluhan dalam langkah yang disebut anamnesis ini bertujuan untuk menggali penyebab dan jenis penyakit yang diderita. Setelah anamnesis, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dan dilakukan pemeriksaan penunjang bila perlu.
Langkah-langkah pemeriksaan medis di atas telah dilakukan dalam tradisi panjang praktek kedokteran. Begitupun bagi dokter dalam sejarah Islam klasik, yang mereka lakukan pun tak jauh berbeda. Ahmed Ragab mencatat dalam bukunya The Medieval Islamic Hospital: Medicine, Religion, and Charity, suatu ketika seorang pemuda berkunjung ke bimaristan guna berobat ke Ar-Razi dengan keluhan rasa ngilu dan nyeri pada lututnya.
Ar-Razi menanyakan pada sang pemuda apakah ia mengeluhkan rasa pahit pada mulutnya. Berdasarkan hasil wawancara, Ar-Razi menandai bahwa pemuda ini juga memiliki keluhan batuk. Laporan kasus tersebut menunjukkan bahwa Ar-Razi mengerucutkan pertanyaan berdasarkan keluhan utama pasien. Tak lupa Ar-Razi melakukan pemeriksaan fisik yang dibutuhkan.
Sebelum meresepkan obat, Ar-Razi menelaah adanya kondisi batuk ringan. Ia mengatakan sang pasien terkena gangguan yellow bile (penyakit yang dahulu konon disebabkan gangguan liver, sehingga menyebabkan gejala sifat temperamental dan tidak nyaman). Merujuk pengetahuan kedokteran kuno Yunani – yang menjadi rujukan para dokter era Islam klasik, yellow bile adalah bagian dari empat komponen cairan utama dalam tubuh yang memengaruhi sifat dan kerja tubuh. Agaknya penjelasan ini sudah tidak lagi dipakai dalam praktek kedokteran modern.
Skema cara pemeriksaan ini dilakukan pada semua pasien. Seorang wanita pernah datang padanya dengan keluhan pusing dan rasa pahit di lidahnya tanpa keluhan batuk. Dia diresepkan obat serupa dengan resep seperti pemuda yang mengidap yellow bile, namun tanpa resep obat batuk.
Kisah-kisah pengalaman Ar-Razi berhadapan dengan pasien ini dicatat dengan baik dalam Al-Hawi, salah satu karya Ar-Razi yang masyhur. Para dokter semasanya maupun generasi setelahnya menggunakan catatan pengalaman Ar-Razi ini sebagai salah satu referensi dalam kerja-kerja medis.
Terdapat kisah seorang pria tua mengeluh pusing dan sakit kepala, tanpa ada keluhan pahit di lidah. Ia merasa tidur lebih banyak dari biasanya, susah bernapas, serta badan terasa pegal di seluruh tubuh. Oleh Ar-Razi, ia menyimpulkan gejala ini diakibatkan dahak dan cairan berlebih dalam rongga dada.
Rupanya Ar-Razi mengakui ia pernah kurang cermat dalam penegakan diagnosis pasien. Dalam al-Hawi, ia mencatat kekeliruannya ini. Tersebutlah seorang pasien bernama Abdullah bin Sawadah datang dengan keluhan demam berulang setiap enam hari; yang sifatnya hilang timbul, namun semakin tinggi dari hari ke hari saat muncul. Setelah wawancara dan pemeriksaan fisik, Ar-Razi memikirkan keluhan demam ini adalah gejala malaria yang mungkin berulang setiap tiga atau empat hari.
Ar-Razi belum menduga adanya kemungkinan lain dari keluhan Abdullah bin Sawadah ini. Istilahnya, belum menganalisis diagnosis banding. Pada kunjungan selanjutnya, sang pasien ini melaporkan ada nanah dalam urinnya. Menjadi jelas bagi ar-Razi bahwa ini adalah infeksi pada ginjal dan saluran kemih yang diduga telah terbentuk abses. Menyadari kekeliruan itu, ia mengganti terapi dan obat kepada pasiennya.
“(Pasien) tidak mengeluh kepada saya bahwa pinggangnya terasa berat ketika dia berdiri, dan aku lalai untuk bertanya kepadanya tentang hal itu juga.” Ar-Razi menyimpulkan bahwa abses itu mungkin masih kecil: “Setelah dia mengeluarkan nanah dalam urin (bāla maddah), saya tanyakan keluhan [beban yang menggantung di pinggang], dan dia mengiyakannya. Seandainya (abses) itu besar, ia pasti akan langsung mengeluhkan rasa nyeri punggung itu (di pertemuan awal).”
Tidak tergalinya keluhan dan gejala spesifik dari penyakit pasien dinilai Ar-Razi menyebabkan kurang tepatnya hasil diagnosis. Beruntung pengalaman Ar-Razi membuatnya segera menyadari keluhan yang disampaikan belakangan tersebut.
Kejadian kekurangcermatan Ar-Razi mendiagnosis penyakit pasien terjadi saat ia bekerja di bimaristan dan bergelut dengan banyak pasien. Membeludaknya pasien di bimaristan, menjadikan metode pemeriksaan yang lebih tepat dan efektif untuk menangani banyak pasien dari kalangan awam, adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan spesifik tentang suatu penyakit, yang sayangnya bisa saja terlewat untuk ditanyakan. Imbasnya, pertanyaan terstandar yang dibatasi waktu ini dinilai Ahmed Ragab mengurangi kesempatan dokter untuk lebih dalam menyelami masalah pasien.
Jika ada keluhan yang parah dan bermacam-macam, berdasarkan catatan Ahmed Ragab, seorang dokter kala itu akan membuat daftar prioritas, memberikan terapi sesuai gejala, lalu jika diagnosis belum bisa ditegakkan di pertemuan awal, penyebab utama penyakit digali lebih lanjut pada pertemuan selanjutnya saat kontrol ke dokter tersebut.
Pada era Islam klasik, para dokter kekhalifahan diberi waktu lebih lama untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan secara pribadi di lingkungan penguasa atau pejabat tinggi dengan klien yang lebih bergengsi dari circle para penguasa. Hal ini membuat dokter kerajaan kala itu diberi waktu yang cukup luas untuk menganalisis masalah sang pasien.
Demikianlah, kerja-kerja medis rupanya memerlukan kecermatan yang terus menerus diasah dan dipelajari, karena konon dokter memiliki tanggung jawab moriil sebagai lifelong learner, pembelajar sepanjang hayat.