Seorang teman suatu kali bercerita tentang perilaku anaknya belakangan yang ia nilai aneh. Si anak mulai gemar mengidentifikasi status agama orang lain apakah ia kafir atau Muslim. Bila sudah terendus agamanya non-Muslim, sikap selanjutnya adalah menjauh atau minimal berkurang empatinya.
Contoh kecil: si anak yang semula ngefan berat dengan seorang bintang sepak bola luar negeri, kini tidak lagi lantaran anak itu tahu si tokoh idola berbeda iman dengannya.
Jika kasusnya sebatas ngefan atau tidak ngefan, sebenarnya masih normal-normal saja. Celakanya, perilaku yang sama juga dilakukan terhadap hampir setiap orang baru yang dijumpainya.
Saat melintas di depan rumah seseorang, bisa saja terlontar, “Itu rumah orang China ya, Yah? Kafir dong.”
Gelagat ini mengkhawatirkan sang ayah, yang menangkap aura kebencian dalam diri si anak kepada kelompok yang berbeda identitas dengan dirinya. Anak itu seolah membuat blok dalam pikirannya: kafir dan tidak kafir.
Yang pertama adalah musuh, yang kedua adalah teman.
Anak tersebut baru menginjak sekolah dasar, usia yang masih terlalu muda untuk mencerna konsep kesetaraan, kewarganegaraan, politik identitas, dan isu-isu abstrak lainnya. Si ayah menengarai bahwa anaknya yang belajar di sebuah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) di Bekasi itu terpengaruh oleh hawa politik akhir-akhir ini yang membawa sentimen agama ke ranah pilkada.
Si ayah memutar otak, mencari cara paling mudah memberikan pencerahan kepada sang anak. Maka bertandanglah si ayah bersama anaknya ke rumah seorang kawan. Keduanya menginap barang satu-dua malam. Sang anak pun makan, mandi, berenang, bermain, dan shalat jamaah bersama sang ayah di kediaman itu.
Tuan rumah memperlakukan mereka berdua dengan ramah dan istimewa. Segenap keperluan selama bermalam dicukupi. Si anak mulai akrab dengan tuan rumah. Ia girang, liburannya terlewati dengan ceria dan menyenangkan.
Hingga akhirnya air muka si anak sedikit berubah ketika sang ayah bercerita tentang agama si tuan rumah, teman ayahnya itu.
“Beliau ini orang baik. Santun, suka menghormati dan membantu sesama. Beliau itu non-Muslim lho.”
Pernyataan ini membuat si anak terdiam sejenak. Pikirannya seolah sedang berkecamuk. Akal sehatnya mulai mempertanyakan dikotomi kaku non-Muslim dan Muslim sebagai musuh dan tidak musuh. Ia menghadapi situasi yang sangat lain: orang yang ia anggap kafir, ahli neraka, dan musuh kini tiba-tiba menjadi sahabat baru yang akrab, baik hati, dan toleran terhadap dirinya.
Mungkin ini yang dinamakan shock culture, sebuah pengalaman baru yang ‘mengejutkan’ karena fenomena yang dihadapi di luar kebiasaan dirinya. Shock culture hampir selalu diiringi fase penolakan, tapi secara perlahan seseorang akan berupaya memahami, beradaptasi, dan nyaman dengan suasana budaya baru, dalam hal ini lingkungan multikutural (bergaul dengan non-Muslim).
Si anak lalu berbisik kepada ayahnya, “Ternyata orang kafir ada yang baik begini ya, Yah? Kok bisa ya, padahal dia kafir?”
“Kalaupun harus menyebut, ayah lebih suka menyebutnya non-Muslim. Dan ajaran tentang kebaikan kepada sesama manusia memang ada di semua agama. Mereka yang berbeda belum tentu yang jahat.”
Si anak manggut-manggut, pertanda misi sang ayah memberi pencerahan mulai membuahkan hasil.
Sang ayah sadar, salah satu tips jitu untuk memecah kebekuan sikap keagamaan yang kolot adalah memperluas pergaulan, bersilaturahim dan memahami sebanyak mungkin orang berbeda. Sebab, pikiran terbuka tidak mungkin lahir dari komunitas serba-tertutup, monoton, dan pola pendidikan satu arah. Wallahu a’lam