Sebagai lulusan kampus mentereng, Ia memang dicap memiliki kualitas pikiran di atas rata-rata. Selain kuliah, Ia juga punya sederet sertifikat magang yang membuat protofolionya padat pengalaman. Selepas kuliah, Ia lanjutkan hidup di Ibu Kota agar supaya taraf hidup lebih cepat meningkat. Dengan modal seperti itu, dia mendapat banyak privilege untuk bisa bekerja di tempat bonafit. Alhasil saat ini Ia memiliki penghasilan yang lebih dari cukup dan pekerjaan yang sangat layak.
Dengan kondisi itu pula, Ia mudah mengetahui perkembangan teknologi dan info-info dunia yang sedang berkembang, taruhlah seperti perkembangan mobil listrik, AI, kondisi geopolitik internasional, sampai prediksi teknologi di masa depan.
Ia memang memiliki akses untuk meraih itu. Dengan kondisi yang Ia miliki, tidak hanya akses soal informasi keunggulan mobil listrik, Ia juga punya akses untuk membelinya, meskipun usianya baru awal 20an. Sehingga, saat ini mobil listrik lah yang menemani Ia riwa-riwi melindas jalanan Ibu Kota.
Dengan mobil listrik Ia merasa sangat aman dan sudah menjaga lingkungan. Bagaimana tidak, mobil yang ia kendarai sama sekali tidak mengeluarkan suara dan emisi.
Ia bergerak mulus seperti mobil mainan yang berjalan dengan kekuatan baterai. Sampai akhirnya Ia merasa tidak perlu ikut untuk bertanggung jawab saat kondisi Ibu Kota dihantam tsunami polusi. Toh bukan Ia penyebabnya. Platnya kan sudah bergaris biru yang menandakan mobilnya memanfaatkan energi listrik dan tercap tidak menjadi golongan kendaraan yang menumpuk polusi di jalanan.
*
Dari awal kemunculan teknologi mobil listrik, selain pujian, kritik padanya sudah banyak berseliweran, utamanya kritik tentang polusi yang ditimbulkan. Karena analisa yang muncul adalah mobil listrik bukan lantas tidak mengeluarkan limbah, tetapi hanya memindah limbah, yang sebelumnya dibuang di jalan kemudian dipindah di sekitar pembangkit listrik yang digunakan. Ya meskipun sekarang polusi itu juga sudah sampai di Ibu Kota.
Hal ini karena pembangkit listrik yang eksis masih memproduksi listrik dengan memanfaatkan uap yang bahan bakunya adalah batubara. Sementara batubara sudah dikategorikan sebagai sumber energi yang kotor. Ini tentu ironi, disaat kita bersama-sama mulai berbangga pada teknologi mobil listrik yang diklaim sudah hijau, eh, ternyata apabila dilihat dari point of view (POV) yang lain, masih menimbulkan limbah juga.
*
Dengan menggunakan POV energi, saya jadi teringat saat sekitar tahun 2017 sampai 2018-an, saat sedotan stainless steel menjamur sebagai antitesa sedotan plastik yang sangat mengotori lingkungan karena hanya dapat digunakan sekali pakai. Bahkan dulu saya sempat menemui ada sebuah kedai kopi yang menyajikan es kopinya beserta dengan sedotan dari logam.
Saat itu, sedotan logan dianggap sebagai jawaban atas sedotan plastik sekali pakai. Sejurus sedotan logam disebut sebagai juru selamat lingkungan karena dapat digunakan berkali-kali, lalu dengan bumbu kapitalisasi ia dipromosikan di mana-mana sehingga “kenabiannya” cepat terdengar. Padahal faktor untuk menentukan kehijauan sebuah benda bukan hanya perkara dapat digunakan berkali-kali atau sekali pakai.
Faktor-faktor yang bisa digunakan untuk menentukan kehijauan ada banyak sekali, antara lain sumber bahan baku, energi, waktu pembuatan, biaya yang digunakan untuk membuat dan merawat, efek limbah yang ditimbulkan, dan lain-lain.
*
Hanya menggunakan POV energi kita sudah bisa melihat bahwa sedotan stainless steel tidak bisa lantas mengalahkan sedotan plastik dalam lomba siapa yang lebih hijau. Karena energi yang digunakan dalam memproduksi sedotan logam sangat besar.
Malahan kalau ditinjau dari penggunaan energi. Sedotan plastik lebih hijau karena energi yang digunakan lebih sedikit.
Selain perkara energi, urusan bahan baku juga akhirnya menyadarkan bahwa proses ekstraksi atom dari alam untuk memproduksi sedotan stainless steel dan plastik bisa mengarah bahwa sedotan plastik lebih hijau, karena hanya membutuhkan getah karet yang sifatnya selalu bisa diperbarui. Sementara stainless steel diambil dari bahan tambah yang dalam mengambil dan mengekstrak logam lebih rumit serta tidak dapat diperbarui.
Perkara seperti ini juga yang sebenarnya sedang terjadi pada mobil listrik. Satu sisi sangat kita unggulkan, sayangnya saat dilihat dari sisi yang lain masih merugikan. Salah satu yang sangat mengancam soal mobil listrik adalah karena terlalu agresifnya melakukan eksploitasi nikel yang digunakan untuk baterai mobil.
Konon harga satu mobil listrik masih tinggi karena untuk membayar teknologi baterai yang saat ini memang belum murah. Sehingga dalam urusan baterai, bukan hanya soal mencari bahan bakunya saja, tetapi soal efisiensi energi dan juga biaya serta pengolahan pasca gunanya.
*
Lalu kenapa si kita harus memikirkan hal-hal seperti ini? Sebagai seorang muslim kita bisa merujuk pada sebuah hadits berikut:
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berkata, “Aku dimuliakan atas para Nabi sebab enam (hal): Aku telah diberi Jawami’ Al-Kalam (kalimat ringkas namun banyak makna), ditolong dengan (kemampuan menyebabkan musuh) ketakutan, dihalalkannya rampasan perang, dijadikannya untukku bumi sebagai masjid dan sarana pen-sucian, aku diutus untuk seluruh makhluk; dan denganku kenabian menjadi purna.” (Jami’ at Tirmidhi 1553, buku 21, hadits ke 7)
Hadits di atas menjelaskan bahwa bumi adalah masjid dan media bersuci. Bumi adalah masjid artinya di setiap bumi adalah tempat sujud. Dan sujud -yang di dalamnya bermakna ketundukan- adalah salah satu inti dari salat.
Dalam salat kita mengawali dengan takbir dan mengakhiri dengan salam. Takbir adalah mengakui, meyakini, menyangsikan bahwa tidak ada sesuai yang lebih “besar” dari Allah swt. Dan salat ditutup dengan salam yang artinya menebar keselamatan pada kanan dan kiri.
Keselamatan yang dilakukan tentu bukan hanya untuk sesama manusia, tetapi untuk semua makhluk yang ada di bumi. Sehingga menebarkan salam dan keselamatan untuk semua makhluk di muka bumi adalah bagian dalam membuat kenabian Muhammad saw. menjadi purna.
*
Kita sebagai umat yang mengaku pengikut Muhammad tentu perlu untuk mengarahkan hidup ke nilai yang dibawa Nabi Muhammad. Kalau toh tidak benar-benar lurus, yang penting tidak menyengaja memunggunginya.
Hal ini juga tertera dalam ayat-ayat terakhir Al-fatihah, bahwa kita meminta untuk ditunjukan jalan yang lurus, seperti orang-orang yang dikasihi Allah. Sehingga implementasi ayat itu adalah kita meniru laku kiai, ulama, sampai anbiya’. Jadi memang pantas ketika kita mengaku mengikuti nabi, perlu diselaraskan dengan tindakan yang juga merawat bumi.
Hal ini karena bumi adalah tempat bersujud dan kita perlu menjaga kesuciannya.
*
Konon konsep secukupnya dalam memanfaatkan isi bumi tidak bisa diterapkan dalam dunia ekonomi dan industri yang sangat cepat. Senada dengan yang diutarakan Heru Budi Hartono (Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta) bahwa pabrik dan PLTU tidak mungkin distop untuk kurangi polusi udara. Karena industri butuh makan dan mensuplai sehingga tidak bisa berhenti, serta PLTU juga ndak bisa berhenti karena lampu akan mati. Sehingga usaha menekan polusi dengan menurunkan laju ekonomi yang terlalu cepat adalah hal yang sia-sia.
Terasa bahwa urusan polusi udara Ibu Kota benar-benar menjadi buah simalakama, yang mana setiap keputusan akan mendapatkan resiko yang sama-sama menyebalkannya.
*
Namun, kita juga perlu ingat, bahwa bumi memang tempat bersujud, tetapi kewajiban salat tidak hanya diberikan pada mereka yang ta’mir masjid, mereka yang kiai, mereka yang punya pondok pesantren, dan stakeholder di masyarakat. Perintah salat diwajibkan atas setiap manusia.
Artinya bahwa menebar keselamatan untuk bersama-sama menjaga Ibu-bumi adalah tanggung jawab masing-masing. Saat kita merasa cukup dan tidak perlu ada yang diperbaiki karena sudah mengendarai mobil listrik dan memakai sedotan stainless steel, saya kira kita masih tetap perlu melihat lebih lebar. Kembali lagi menakar laku yang tidak membawa keselamatan, dan perlu untuk segera diperbarui dan perbaiki.
Biarlah pemerintah kota menjalankan tugasnya, entah dengan memunculkan solusi-solusi atau mengaku saja kesulitan mengelola industri dan PLTU, kita sebagai rakyat biasa melaksanakan peran yang bisa kita lakukan.
Bahwa ini bukan urusan signifikan atau tidak, tetapi kita semua berperan, kita semua salat. Dan kita juga perlu sadar bahwa dengan menjaga “masjid dengan nama bumi”, kita turut menjaga apa yang membuat kenabian Muhammad purna, dan itu mulia bukan. Yuk mulai dari diri sendiri menjaga Ibu-bumi.
Wallahu A’lam