Bagaimana sih kondisi masjid-masjid di Jakarta? Pengurus masjid di Jakarta ini menceritakan kisahnya sebagai berikut. Jadi gini, di saat kalian ribut pilpres dan selalu mengeluhkan para Khotib yang kalian sebut menebarkan kebencian? Apakah kalian pernah ingat Masjid di saat sedang tidak jumatan?
Bro? Bro, apakah kalian pernah tanya-tanya tentang masjid? Masjidmu, masjid yang lokasinya dekat rumahmu, masjid yang sering kamu mampir sholat atau sekadar ndelosor di situ? Masjid yang Deket rumah gebetanmu, pacarmu atau mertuamu? Pernah apa enggak? Kenal merbotnya barangkali?
Apakah kamu pernah terbersit untuk pengen tahu siapa yang ngimami di situ? Atau barangkali salah satu Ibu guru muda unyu yang ngajar di sana? Pernah Ndak? Emang kenapa kok tanya begitu?
Begini saya kasih cerita, tapi ingat ya, ini bukan kejadian pertama. Hal itu terjadi pas hari itu hari Sabtu sore, seorang ustadz, imam masjid (tak perlu tanya nanya siapa dan ngimami di masjid mana ya?) datang kepadaku dengan menyodorkan lembar-lembar kertas. Sembari menyodorkan, ustadz ini mengatakan, tadi diantar orang kelurahan (Tidak usah tanya kelurahan mana, nanti hidupmu tambah ruwet penuh prasangka), katanya besok diambil. Artinya besok itu hari Minggu.
Seperti juga kalau hari ini kamu ke kantor kelurahan, mungkin kamu hanya akan bertemu pintu yang digembok rapat. Ya kalo beruntung sih mungkin ketemu ibu-ibu PKK lagi lomba masak. Bisa wareg kamu. Apalagi kalo besok kamu ke kelurahan? Mau ketemu apa? Siapa? Kalau pun tidak ditegur karena gak punya duit piknik, kamu sudah harus sujud sukur, lha Minggu-minggu kok ke kelurahan.
E, tapi ini bener, besok orang kelurahan yang nganter ini bilang akan datang lagi. Okelah kalo begitu. Saya tanya siapa namanya orang kelurahan itu, Ndak ada yang tahu.
Terus aku ngelihat ke arah lembar-lembar yang disodorkan tadi. Ada tiga lembar kertas putih serupa blangko isian. Tanpa kop, tanpa nama, tanpa tanda tangan dan tanpa amplop (kalo ustadz memang biasnya yang penting bukan amplopnya, tapi isinya). Gak usah nyengir gitu, ini beneran bahwa paling paling penting dari blangko ini adalah tanpa surat pengantar. Sama sekali.
Blangko ini hanya berupa antrean pertanyaan ganda, kolom isian dan titik-titik yang seperti tangan menengadah meminta detail penjelasan.
Lalu kutanya ustadz tadi, “Yang nganter ngomong apa tadz?”
Jawabnya, “Tidak ngomong apa-apa. Dia cuma bilang besok siang diambil.”
Ya dan itu artinya hari Minggu mblo, hari Minggu. Dan orang kelurahan itu bersusah payah datang ke Masjid untuk mengambil blangko tak bertuan. Ya, minimal tuannya belum diketahui.
Oke Jawabku.
Senin pagi, aku ketemu pak imam tadi dan dia cerita orang kelurahan datang. Pulang dengan tangan kosong dan tidak nggerundel. Ya sama sekali tidak.
Lain hari kemudian, saya ketemu seorang anggota LMK kutanya tentang hal itu, blangko tanpa kop tanpa surat pengantar itu.
Lalu berceritalah Beliau dengan menggebu-gebu. Beliau bercerita bahwa surat itu, beliau menyebutnya surat datang dari sebuah ormas, dititipkan di kelurahan agar disampaikan ke masjid-masjid dan musholla karena kelurahan lah yang tahu masjid-masjid dan musholla di wilayahnya. Cihuy kan? Ketemu kan, kenapa Sabtu-Minggu?
Sang Bapak ini memperlakukan ormas ini, dalam penyebutannya, serupa seakan dia adalah MUI bagi Orde Baru. Saya tidak menyebutkan ormas itu, tapi jelas kan? Betapa mereka sangat care dengan masjid-masjid dan musholla. Lebih care dari kamu-kamu. Ya tho?
Lalu masalahnya apa? Apa ya? Pikir saja sendiri, atau kamu Ndak usah ribut-ribut kalau tiba-tiba kamu Ndak kenal pengurus masjidnya. Bukankan kemarin-kemarin juga kamu Ndak kenal?