Ustadz Salim A. Fillah (SAF)-Semoga Allah memberkahinya- menulis sindiran halus tapi tajam pada keraton Jogja. Sebagai buntut penolakan otoritas keraton atas kegiatan Muslim United (MU). SAF membandingkan otoritas keraton dengan khalifah Harun Ar Rasyid. Bahwa masjid, meskipun dibangun oleh khalifah, tetaplah milik Allah. Bukan milik khalifah. Bukan milik keraton.
Masjid memang milik Allah. Itu jargon manis banget. Prakteknya tak semanis jargonnya.
Ada banyak jenis masjid. Kita mulai dari masjid kampung. Bagaimana masjid kampung berdiri? Warga membangun masjid dengan gotong royong. Tenaga dan dana. Masing-masing urun daya. Warga biasanya memiliki kecenderungan kultural pada ormas/gerakan tertentu dalam amaliah mereka.
Warga di wilayah mayoritas NU akan membangun masjid NU. Lalu diselenggerakan amaliah NU situ. Tahlil, Yasinan, Manaqiban, Berjanjen, Istighatsah, dan lain-lain.
Sekarang kita pikir. Bagiamana jika tiba-tiba ada jamaah yang mendakwahkan ajaran yang berbeda? Atau malah menyalahkan amaliah mayoritas. Secara alamiah warga akan tolak.
Warga di wilayah mayoritas Muhammadiyah juga akan membangun masjid. Diselenggarakan di situ kegiatan kemuhammadiyahan. Nyaris tidak mungkin kamu tiba-tiba datang terus adakan maulid barzanji atau istighatsah.
Masjid kampung memang milik Allah. Tapi penggunaannya sesuai ‘selera’ pengurus atau warganya. Ini realita. Suka atau tidak suka.
Lain soal dengan masjid perumahan yang warganya heterogen.
Masjid selanjutnya adalah masjid yang dibangun oleh lembaga/kantor/institusi. Pernah saya cerita masjid kampus UNPAD sebelum tahun 2013. Sebab “dikuasai” oleh HTI, maka mayoritas penceramah, kegiatan, buletin, sampai hiasan dinding; semuanya berbau khilafah.
Mushala-mushala yang “dikuasai” PKS juga diisi liqa’, mabit, pengkaderan ala PKS. Berlaku juga untuk masjid yang pengurusnya orang-orang NU seperti di pesantren.
Sekali lagi betul masjid milik Allah. Tapi kegiatan di dalamnya berikut daftar penceramahnya tergantung selera pengurusnya.
Apa itu masalah? Bisa iya bisa tidak.
Masjid milik negara jika diperlakukan demikian, itu masalah. Sebab negara itu netral dalam agama. Netral dalam keormasan. Jika masjid negara diperlakukan layaknya masjid ormas, ya kurang pas. Masjid kampus mirip dengan masjid milik negara.
Pemberian contoh dari SAF dengan masa khalifah juga tak sepenuhnya betul. Masjid dan madrasah jaman dulu juga banyak yang disesuaikan selera penguasa. Saat khalifah punya corak Mu’tazilah, misalnya, ia pilih “penceramah” yang sesuai seleranya. Lebih dari itu, kadang sampai memenjarakan yang tak sesuai.
Imam Ahmad pernah dipenjara Khalifah Al Ma’mun. Imam Bukhari pergi dari negerinya karena diskriminasi dari Khalid bin Ahmad. Harun ar Rasyid sendiri, yang oleh SAF dijadikan contoh tadi, bertanggungjawab atas ditahannya Imam Syafi’i.
Ulama-ulama itu tidak hanya dilarang berceramah di masjid. Beliau diseret ke tahanan. Beberapa hingga meninggal dalam penahanan.
Miris, tapi harus kita terima fakta pahit itu. Bagian dari sejarah peradaban Islam. Jadi apa kta diadu domba? Tidak! Kita memang secara tak sadar mengajukan segregasi sukarela. Kitalah yang memilih menjadi domba tanpa ada yang mengadu.
Kembali ke tadi, bagaimana jika masjid, tempat SAF jadi pengurus itu, saya pakai untuk kegiatan yang tak sesuai selera beliau? Barzanji, istighatsah, shalat tasbih, manaqiban, dan lain-lain, Masihkah ada jargon besar “Masjid milik Allah”?
Sebagai tambahan, saya tidak antipati dengan kegiatan dakwah. Tidak anti pula pada nama penceramah yang ramai di poster itu. UAS sering saya simak kajiannya. Adi Hidayat itu malah senior sekaligus guru saya di Libya dulu.
Saya juga sayangkan mengapa tertolak. Idealnya semua berhak mendakwahkan ajarannya. Termasuk Muslim United, NU, Muhammadiyah, PKS, hingga Syiah dan Ahmadiyah. Semuanya.
Tapi itulah kenyataan pengelolaan masjid yang harus kita terima. Idealisme kadang berbenturan dengan realita. Hanya sedikit yang bisa ideal.