Islam sebagai agama yang dibawa Muhammad bukanlah agama lama jika dibanding dengan agama-agama besar dunia seperti Yahudi dan Kristen. Islam lahir di tanah Arab ditengah-tengah masyarakat yang telah mengenal tradisi, bidaya, dan agama sebelumnya. Dalam masa pra-Islam misalnya, keramahan sangat penting sehingga di rumah seorang Arab dijamin keamanan dan perlindungannya selama paling tidak tiga hari. Konon, tradisi ini yang kemudian diadopsi Nabi yang menyatakan seorang tamu berhak dijamu selama tiga hari.
Muhammad sendiri konon pernah dalam suatu perjalanan diramal oleh seorang Pendeta Buhaira bakal menjadi seorang Nabi. Benar, kurang lebih pada 610 Hijriah Muhammad menerima pesan dari Tuhan yang menandai tugasnya sebagai seorang Nabi. Pesan serupa yang disampaikan kepada nabi-nabi sebelumnya semisal Musa dan Isa. Pesan ini juga yang kemudian dikenal dengan Kitab Suci Alquran. Kitab pedoman umat Islam sepanjang zaman.
Masa kejayaan Islam setidaknya dapat digambarkan dalam dua besar peninggalan besar yang masih berpengatur sampai sekarang. Pertama adalah Piagam Madinah dan kedua adalah Bayt Al-Hikmah. Keduanya menjadi tanda bagi masa kejayaan Islam setidaknya karena mencerminkan bagaimana Islam mampu mengakomodir semua kepentingan tanpa pergolakan. Selain itu, keduanya juga menjadi banyak rujukan dalam bidang pemikiran dan perdaban.
Namun demikian, bukan berati kemudian menafikkan kejayaan yang pernah diraih oleh Daulah Umayyah baik yang berpusat di Damaskus dan Andalusia maupun kesuksesan Umar dalam perluasan wilayah Islam, misalnya. Dua peninggalan di atas merupakan sebuah gambaran bagaimana Islam pernah mencapai puncak kejayaan.
Daulah Umayyah di Andalusi misalnya juga telah banyak melahirkan ilmuan dan peninggalan. Hanya saja, pengaruh dan keberadaannya yang tidak dapat kita jumpai lagi sekarang. Selain hanya bekas-bekas peninggalannya saja. Sang Khalifah Umar sendiri, banyak dipuji karena ekspansi yang dilakukannya.
Piagama Madinah menggambarkan bagaimana Nabi mampu mengakomodir seluruh penduduk yang plural dalam satu naungan. Memang benar bahwa Nabi berasal dari kalangan Islam, namun demikian Nabi tidak memaksakan pemeluk agama Yahudi maupun Nasrani untuk tunduk dalam hukum Islam. Sebagai pemimpin politik Nabi terbuka dengan aturan-aturan yang bersifat keagamaan selagi tidak menimbulkan kerusakan dan merugikan antara satu dengan yang lain.
Di Madinah dan Mekah, diakhir-akhir tahun Sang Nabi sebelum wafanya, Nabi benar-benar menerima keragaman dan perbedaan. Puncak kejayaan yang diiraihnya tidak lantas membuatnya berbuat sewenang-wenang. Kenyataan historis yang demikian setidaknya dapat dilihat bagaimana Nabi justru memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk memilih agama seperti dalam peristiwa Fathul Makkah misalnya.
Setelah sempat menuai banyak pergolakan, puncak kejayaan Islam kembali terulang. Abad kesembilan belas sampai ketiga belas dunia Islam ditandai dengan era perkembangan ilmiah, religius, filsafat, dan kebudayaan dalam skala serta kedalaman yang tak tertandingi sejarah, baik sebelum maupun sesudah era tersebut, begitu dikatakan seorang peneliti dan sejarawan di Universal School, Bridgeview, Illinois, Firas Alkhateeb. Berdirinya Bayt Al-Hikmah (Rumah Kebajikan) saat itu memberi ruang bagi universitas, perpustakaan, badan penerjemahan, dan lab penelitian, ada dalam satu naungan.
Cendikiawan terkenal, Muslim dan non-Muslim, dari seluruh dunia berkumpul di Baghdad sebagai bagian proyek Al-Ma’mun. Untuk pertama dalam sejarah, kelompok terbaik dari tanah Persia, Mesir, India, dan bekas Byzantium dipertemukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Konon, jika seorang cendikiawan menerjemahkan buku apa pun dari bahasa asli ke dalam bahasa Arab, maka ia akan mendapat emas seberat buku yang diterjemahkan.
Di masa-masa ini pula Islam mengadopsi banyak pemikiran dan ide dari luar meski pada akhirnya juga melahirkan pemikiran dengan corak tersendiri. Islam tidak segan untuk mengadopsi ilmu pengetahuan yang datang dari luar. Buku-buku diterjemahkan dan dipelajari untuk kepentingan bersama.
Masa-masa kejayaan Islam benar-benar ditandai dengan keragaman, perbedaan, dan ketebukaan. Para pemimpin maupun kaum muslim umumnya, mampu untuk menerima keragaman dan perbedaan serta terbuka dengan segala kemajuan. Khusunya dalam bidang ilmu pengetahuan.