Dari sekian rekaman al-Quran yang mendedahkan kisah tentang Nabi Musa, saya cukup terkesan sama ayat yang satu ini:
“Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S. Thaaha [20]: 43-44)
Jelas, ini ayat yang luar biasa luhung. Di banyak tempat, al-Quran seolah tidak memberi celah untuk mendeskripsikan pencapaian-pencapaian Firaun. Yang ada justru kekejaman, kebebalan, dan kepongahan Firaun.
Kepada Bani Israil, Firaun bersikap tanpa kompromi. Kesumatnya adalah kelewat bar-bar. Dalam sebuah deskripsi yang padat namun bernas, al-Qur’an memberitahu kita tentang betapa horornya pemerintahan Firaun.
Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Firaun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Qashash [28]: 3-4)
Begitulah genre otoritarianisme Firaun: jauh sebelum Adolf Hitler memburu keturunan Yahudi sedunia ataupun Rezim Orba melumat umat PKI, geneaologi holocaust untuk mempertahankan kekuasaan berakar pada kebijakan Firaun.
Saat itu, situasinya mungkin jauh lebih rumit. Rezim Firaun belum ditopang kecanggihan teknologi, apalagi lembaga survei yang secara brutal berebut klaim akurasi data. Maka, ramalan adalah mekanisme terampuh yang dipercaya sebagai navigasi kekuasaan.
Dan, ya, menurut prediksi yang populer waktu itu, kekuasaan Firaun akan terjungkal melalui tangan seorang anak laki-laki. Sejurus kemudian, Raja meneken kebijakan yang, kelak, justru berbalik menjadi petaka: bunuh semua bayi laki-laki!!
Terang saja, Ibunda Musa jadi kalang kabut. Namun ini tidak berlangsung lama. Mendung kekhawatiran itu segera sirna oleh warta dari langit bahwa keselamatan Musa telah digaransi oleh Tuhan.
Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. (al-Qashash [28]: 7)
Kisah revolusioner pun dimulai. Sebuah keranjang yang membawa bayi Musa hanyut mengikuti arus sungai terpanjang di dunia. Dan, di salah satu bilangannya terbentang taman istana. Keranjang yang menyerupai peti itu ternyata mencuri perhatian Sang Ratu. Keranjang pun dipungut dari aliran sungai yang, menurut taksiran Gmaps, membentang sepanjang 6.650 km.
Rupanya, bayi laki-laki itu memikat hati Sang Ratu. Kali ini, Musa tidak hanya lolos dari maut, tetapi setelah terlibat negosiasi, Firaun mengizinkan permintaan istrinya agar merawat bayi itu di lingkungan istana yang gemerlap, mewah, dan sudah tentu berkecukupan.
Tapi, Musa tetaplah Musa. Segala privilis yang bertaburan di sekitarnya tidak lantas membuat dia jumawa. Musa tumbuh dengan kesadaran batin yang agung, yang kontras dengan kebanyakan orang-orang istana. Lebih dari itu, Musa rawan tersentuh oleh kemiskinan dan bahkan merasa muak dengan kekejaman. Maka, di dalam kejernihan jiwa itulah meluap bejibun pertanyaan, bil khusus terhadap perbudakan, ketidakadilan, dan penindasan yang dibiarkan begitu saja.
Bani Israil adalah target utama rezim. Golongan yang berjuang mempertahankan tradisi Ishaq dan Ya’qub ini jelas memunggungi keyakinan Firaun. Beruntung, Musa telah lebih pagi mengerti kalau dirinya bukan anak kandung Firaun. Ibu kandung yang menyusui sewaktu bayi memberitahu Musa kalau dia mewarisi generasi Bani Israil.
Musa gerah berada di istana. Emosinya tak lagi bisa disembunyikan bilamana melihat ketidakadilan yang, lagi-lagi, korbannya adalah Bani Israil. Dan, suatu hari terjadilah ledakkan peristiwa. Al-Quran memotret situasi ini secara dramatis.
Dan Musa masuk ke kota ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya). (Al-Qashash [28]: 15)
Ya, tinju Musa menghempaskan nyawa orang. Tentu saja, ia menyesal, cemas, dan khawatir. Musa sadar betul konsekuensi logis dari apa yang barusan dia perbuat. Firaun dan semua intelejennya pasti akan memburunya. Dalam gejolak batin yang meledak-ledak itulah Musa dituntut mengambil keputusan serius. Quran memberitahu kita betapa pergolakan batin Musa itu menjadi masuk akal.
Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu”. (Q.S. al-Qashash [28]: 20)
Sebuah petuah yang sangat politis itu laksana cambuk buat Musa agar kabur dari teritori Firaun. Saya belum menemukan keterangan yang menyebut berapa lama pelarian ini berlangsung. Yang jelas, kisah pelarian ini berujung pada pelantikan Musa sebagai Rasul. Misinya cukup tegas, tapi sekaligus tidak mudah: hadapi Firaun!! Tapi gak boleh gegabah. Harus tetap berlemah lembut.
Tepat di aras kesadaran itulah terpancar sebuah logika dakwah yang lugas: jika kepada Firaun yang kepongahannya unlimited saja Nabi Musa masih diminta santun, maka apa alasan kita untuk marah-marah kepada orang yang berbeda tafsir keagamaan?