Dalam satu sore menjelang maghrib, saat itu waktu tengah menunjukkan 17.30, seorang santri putri di Pesantren Bumi Cendekia mengacungkan tangan. Ia mengatakan kepada gurunya,“Maaf Pak, bolehkan saya bicara?”
“Boleh, Silahkan” jawab sang guru
Sang santri pun mendekat ke guru, “saya ingin berdiskusi tentang waktu”, “kami ingin, kegiatan dimulai tepat waktu, yaitu pada pukul 15.30. sehingga bisa selesai tepat waktu agar kami bisa bersiap untuk kegiatan selanjutnya”
Dari kejauhan, saya lihat sang guru bermuka merah, mungkin tersinggung, hari itu memang dia datang terlambat tanpa penjelasan.
Guru tersebut menjawab “baik, terima kasih. Saya usahakan lebih pagi datang”
Sekilas, peristiwa itu tampak biasa jika terjadi di luar. Tapi ini terjadi di sebuah pesantren, dimana guru biasanya bebas dari kritik, terutama dari santrinya. Hal itu tentu sebuah hal yang janggal.
Hati kecil saya bilang, memang benar seperti itu caranya. Tapi pada sisi yang lain, doktrin masa lalu saya mengatakan, itu bukan cara seorang santri berlaku Tawadlu’.
Peristiwa itu berlalu, sampai pada saat saya mengantar salah satu pengasuh pesantren ke Kajen, Pati untuk memenuhi undangan acara. Di sela-sela kegiatan tersebut, kami berkesempatan bertemu dengan KH. Abdul Aziz Yasin, ayahanda dari KH. Imam Aziz, salah satu aktivis senior NU yang juga salah satu dewan pengasuh dari Pesantren Bumi Cendekia. Satu kunjungan yang membuka beberapa perspektif baru tentang kultur belajar santri yang beragam.
Pada kesempatan itu, Kyai Aziz banyak bercerita tentang pengalaman beliau semasa belajar di Jogja dan perubahan paradigma yang ia alami dari proses belajar itu.
Beliau bercerita tentang bagamana dulu, KH Ali Maksum, mendidiknya di kisaran tahun 1954 saat Kyai Aziz mondok di Krapyak. Momen pertama kali Kyai Aziz bertemu dengan Kyai Ali terjadi di ndalem Kyai Ali. Disana, Kyai Aziz diminta oleh Kyai Ali untuk menunjukkan rapor pendidikan sebelumnya, tentu karena sebelumnya di madrasah, rapor itu berisi mayoritas pelajaran-pelajaran agama.
Kyai Aziz, awalnya percaya diri, sebab di sekolah sebelumnya ia menempati rangking pertama, setidaknya sebuah pujiuan mungkin akan ia dapat dari Kyai Ali. Tapi yang terjadi tidaklah ia duga, Kyai Aziz muda malah ditertawakan habis-habisan oleh Kyai Ali.
“Hahahaha” Kyai Ali tertawa,
“Koe ki dadi bocah ra ngerti dunya!” (kamu jadi anak kok tidak ngerti dunia/ tidak gaul!) sambung kyai Ali.
Kyai Aziz terperanjat, ia tak menyangka akan mendapatkan respon seperti itu.
Tak berhenti disitu, Kyai Ali Maksum melanjutkan dawuhnya, “koe tak sekolahke kuto, tapi ngajimu karo aku privat” (Kamu saya sekolahkan di kota, tapi kamu mengajinya privat dengan saya)
Maka, sekolah-lah Kyai Aziz di sebuah sekolah di sekitar masjid kauman jogja. Saat itu, namanya Madrasah Menengah Tinggi (MMT) yang dikelola oleh Haji Muhammad Basyir, ayah dari Ahmad Azhar Basyir (Ketua PP muahmmadiyah 1990 – 1995) sahabat dekat K.H. Ahmad Dahlan.
Di sekolah tersebut, Kyai Aziz mengenal banyak ilmu-ilmu baru seperti antropologi, sejarah dunia hingga kesustraan modern. Nama seperti Chairil Anwar, Marah Roesli, dsb menjadi akrab di matanya.
“Oh iya ya, ternyata dunia ini luas”, kesan Kyai Aziz mengenang masa-masa itu. Terlebih ia tahu, ternyata Kyai Basyir dulu satu alumni dengan salah satu guru beliau, mbah Abdullah Salam, ketika mondok di Madura. Jaman dulu memang, sebelum organisasi Muhammdiyah NU membesar, orang bisa saja mondok dimana saja.
Tak hanya karena pergaulannya dengan bacaan baru, perubahan baru yang dialami kyai aziz juga terjadi saat beliau mengaji dengan KH. Ali Maksum. Satu kitab yang begitu melekat dalam benak kyai aziz adalah Adabud Dunya wad din karya Imam Mawardi yang ia sorogan-kan kepada Kyai Ali.
Beberapa nukilan yang beliau ingat misalnya tentang sikap terhadap dunia. Dulu sebelum di krapyak, Kyai aziz mempelajari bahwa “Dunia ini ibarat bangkai, siapa saja ingin sedikit saja dari bangkai itu, ia harus bersabar hati untuk berebut dengan anjing-anjing”.
Dalam ngajinya bersama Kyai Ali Maksum, Kyai Aziz mendapat pemahanan baru bahwa “Dunai ini ibarat kendaraan, kalo kamu persiapkan dengan baik, maka kamu akan sampai di akhirat dengan selamat”. Keduanya jelas dalam halaman pemahanan yang berbeda.
Tak hanya soal pemahaman atas dunia, Kitab Imam Mawardi tersebut juga mengubah pandangan kyai Aziz muda juga atas narasi hubungan guru dan murid.
Dalam pandangan lamanya, Kyai Aziz mendalami benar-benar bahwa setiap murid perlu ketundukan buta pada guru, “Aku adalah hamba sahaya dari guru yang mengajarkan saya, apakah dijual apakah dimerdekakan terserah padanya”, nukil Kyai aziz dalam satu maqolah untuk menjelaskan bagaimana kuatnya posisi guru, tak peduli baik buruknya.
Pandangan lama itu, kemudian direvisi dengan temuan baru Kyai Aziz dalam kitab Imam Mawardi tersebut, bahwa semua tergantung pada informasi yang diperoleh, “Informasi yang tidak tuntas, tidak dapat menjadi dasar dari sikap yang tegak”. Maqolah ini, dipahami oleh Kyai Aziz bahwa yang paling penting dalam relasi guru dan murid adalah ketuntasan informasi atau argumentasi yang dibangun.
Ketika argumentasi kuat, maka orang akan jadi orang yang berpendirian kuat, tidak gampang ragu. Ini berbeda dari maqolah sebelumnya yang menitikkan pada ketundukan pada individu, maqolah yang kedua menunjukkan ketundukan ilmu.
Pada tuturan Kyai Aziz ini saya menemukan, bahwa peristiwa santri yang kritis di Pesantren Bumi Cendekia tidak dalam kapasitas mencederai adab mencari ilmu. Namun merupakan kepanjangtanganan dari dawuh Ali bin Abi Thalib, “Undzur ma qala wa la tandzur man qala”, lihatlah apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakan”.