Di era digital saat ini, berita bohong (hoax) dapat dengan mudah tersebar. Dengan bantuan sosial media, orang tidak perlu bersusah payah menyebarkannya dari mulut ke mulut. Cukup dengan sekali klik setelah mengetik beberapa baris kalimat atau foto dengan caption yang bersifat provokatif, berita bohong bisa tersebar luas.
Melihat daya jangkau yang sangat cepat dan luas maka hal tersebut tentu akan berbanding lurus dengan dampak yang dihasilkan. Meskipun tidak semua orang yang menerima hoax pasti percaya, namun setidaknya semakin banyak jumlah penerima hoax, semakin banyak pula kemungkinan orang akan terpengaruh.
Setidaknya, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi mudah percaya terhadap berita bohong. Faktor tersebut diantaranya adalah: kredibilitas pembawa berita, sosial konteks pembaca yang meliputi kesamaan kelompok dan kompetisi antar group.
Kredibilitas pembawa pesan sangat berpengaruh pada penerimaan audiens. Dalam kasus drama Ratna Sarumpaet misalnya; figur Ratna sebagai aktivis HAM dan ujung tombak oposisi bisa dikatakan cukup untuk dapat meyakinkan audiens terutama dari mereka yang mempunyai kesamaan pandangan.
Selain itu, sosial konteks yang secara spesifik mengarah pada rasa persamaan dan kesatuan sebagai satu kelompok juga turut memberikan kontribusi besar. Faktanya, di media sosial, mereka yang awalnya percaya dan dengan bersemangat menyebarkan berita ini adalah orang-orang yang berada dalam satu barisan dengan Ratna.
Dalam keadaan yang sudah demikian (mempercayai berita dengan dasar kredibilitas pembawa berita dan diikuti dengan prasangka buruk serta sedikit manuver untuk menyerang kelompok lain), kompetesi antar kelompok menjadikan tensi untuk percaya atau sebaliknya menjadi semakin besar.
Mereka yang berada dalam satu barisan dengan figur si Pembawa berita akan lebih mudah bahkan langsung percaya dengan alasan simpati dsb. Sedangkan mereka yang berbeda kelompok (baca: lian) pada umumnya juga tidak bisa langsung percaya. Mereka meragukan dan mempunyai kecenderungan untuk tidak percaya. Kecenderungan ini lah yang kemudian menjadikan kelompok lian menyelidiki kebenaran berita.
Secara umum, mereka yang mudah percaya dengan berita bohong sebenarnya mengalami bias dalam berpikir. Hal ini bisa terjadi pada siapa pun, baik mereka yang mempunyai level intelegensi tinggi maupun rendah. Sebagaimana dijelaskan dalam buku yang berjudul Dismantling the Mask of Enmity (1989) yang disusun oleh Psychologist for Social Responsibility (PfSR). Maka tidak heran, jika kita melihat beberapa orang berpendidikan tinggi namun pada kenyataannya dengan mudah percaya dengan berita bohong dan turut menyebarkan ulang.
Mereka yang mengalami bias berpikir cenderung akan mudah menerima pemberitaan tanpa mencoba untuk mengklarifikasinya, “taken for granted.” Hal itu bisa terjadi karena beberapa efek yang muncul dari bias bepikir seperti prasangka buruk, stereotip dan cenderung mengingat hal buruk dari kelompok lian.
Dalam banyak kasus, meskipun seseorang mendapatkan informasi sanggahan terhadap berita bohong dari figur yang kredibel dibidangya, dia masih saja sulit menerimanya dan cenderung keukeuh untuk mempercayai berita bohong tersebut. Hal ini disebabkan karena seseorang tersebut lebih mengedepankan prasangka dan label buruk yang terlanjur dia berikan pada yang lian dibandingkan dengan logika berpikir secara kritis dan melihat sebuah berita dengan objektif.
Melihat hal tersebut, di era yang begitu mudah untuk mengakses informasi ini, kita dituntut untuk lebih selektif dan menjaga nalar kritis dalam menerima sebuah berita. Bukan hanya karena sebuah berita datang dari figur dan kelompok yang berlatar belakang sama, lantas menjadi alasan utama untuk langsung percaya. Pun demikian sebaliknya, hanya dengan alasan “Anda bukan golongan kami,” kemudian menyebabkan kita antipati terhadap berita yang disampaikan.
Ahirnya, saya bersepakat dengan Prof. Nadirsyah Hosen yang pernah mengatakan melalui akun tweet-nya @na_dirs (04/10) bahwa tidak semua hal dari kelompok sendiri pasti benar. Pun demikian sebaliknya, tidak semua hal dari kelompok lain (lawan) pasti salah.
Dan, al-qur’an sendiri sudah mengingatkan dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 tentang pentingnya tabayun (klarifikasi). يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.
Wallau a’lam…
Ahmad Aminuddin, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.