Jalaluddin al-Suyuthi (Mesir, w.1505M), Ibnu Katsir (Suriah,w.1373M), al-Thabari (Irak, w.923M), al-Qurthubi (Mesir, w.1273M), tokoh-tokoh itulah yang akan sering terdengar dalam telinga orang ketika mengutip penafsiran sebuah ayat, atau dalam konteks keindonesiaan nama-nama seperti buya Hamka, KH. Bisri Mustofa, Prof. DR. M. Quraish Shihab masih menjadi tokoh yang bisa dikatakan tidak ada yang menandingi dalam dunia tafsir.
Laki-laki masih memiliki dominasi kuat dalam dunia tafsir, seseorang muslim yang tidak berkecimpung dalam dunia tafsir, mungkin akan memiliki anggapan bahwa penafsiran al-Quran memiliki persyaratan harus laki-laki, karena mereka lebih banyak mendengar tokoh-tokoh mufasir yang dikutip oleh ustaz-ustaz atau ustazah mereka kebanyakan berjenis kelamin laki-laki, lantas apakah memang mufasir itu laki-laki semua?
Memang kita tidak bisa memungkiri bahwa tokoh-tokoh tafsir kebanyakan berjenis kelamin laki-laki, anda bisa membuka buku al-tafsîr wa al-mufassirûn, seluruh kitab-kitab tafsir yang dibedah metodologinya oleh Syeikh Husein al-Zahabi penulisnya adalah laki-laki, begitu juga buku al-tafsîr wa al-mufassirûn yang edisi Islam bagian barat, Maroko, Tunisia dan seterusnya, anda tidak akan menemukan satupun tokoh perempuan didalamnya.
Namun ternyata ada peran yang tidak bisa dianggap kecil oleh tokoh-tokoh perempuan dalam dunia tafsir, misalnya saja penafsiran oleh Sayyidah Aisyah yang baru didokumentasikan oleh Abdullah Abu Saud Badr pada tahun 1996 dengan judul Tafsîr Ummi Al-Mu’minîn Âisyah Radliya Allahu ‘Anhâ, kemudian baru muncul diabad 20 tokoh-tokoh tafsir dari perempuan seperti, Zaynab al-Ghazali, Karina Hamzah, Aisyah bint Syathi’ dan sebagainya.
Kemunculan tokoh-tokoh tafsir dalam dunia perempuan (mufassirah) akhir-akhir ini, ternyata tidak sebanyak tokoh laki-laki, dalam kurun waktu satu abad saja misalnya banyak tokoh tafsir laki-laki yang melahirkan karyanya dalam bidang tafsir, sebut saja Muhammad Abu Zahra (Mesir/w. 1974M.), Muhammad al-Thahir Ibn ‘Ashur (Tunisia/w. 1973 M.), Muhammad Asad (Austria/w. 1992 M), Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi (Mesir/w. 1998 M), Wahbah Zuhayli (Suriah/w. 2005 M.), Muhammad Sayyid al-Thanthawi (Mesir/w. 2010 M.), Muhammad Ali al-Shabuni (Suriah/w. 2021 M.), di Indonesia ada buya Hamka (w. 1981 M), KH. Bisri Mustofa (w. 1977 M.), KH. Mustofa Bisri, Prof. M. Quraish Shihab, dan yang masih dalam penyempurnaan Syeikh Ali Jum’ah (mantan Mufti Mesir).
Setidaknya ada beberapa mufasirah yang bisa terlacak karya tulisnya, diantaranya ada Sayyidah Nushrat al-Amiin (Iran, w. 1943M), Zaynab al-Ghazali (Mesir, w. 2005), Nailah Hasyim Shabri (Palestina, lahir 1944), Aisyah Abdurrahman bint Syathi’ (Mesir, w. 1998), Kariman Hamzah (pengkaji tafsir/presenter TV, Mesir 1977-1999), dr. Fatin Mahmud al-Falak (Mesir, lahir 1954), dan Hannan Lahâm.
Fenomena seperti ini pernah diulas oleh Dr. Afaf Abdul Ghafur Hamid (Damaskus/Suriah) seorang dosen pembantu di Universitas Syariqah dalam sebuah artikel berjudul min juhûd al-mar’ah fi tafsîr al-Qurân al-karîm fî ashr al-hadits, dan memang kenyataannya sedikit, tidak banyak, hal ini tentu sangat disayangkan, karena isu-isu perempuan akan lebih terakomodasi jika dalam bidang tafsir, perempuan juga memberikan perhatian dan didukung untuk berkecimpung di dunia tafsir.
Selain sedikitnya keterlibatan perempuan dalam dunia penafsiran, ada hal-hal lain yang sangat disayangkan, beberapa diantara mereka ada yang tidak menafsirkan al-Quran secara penuh, atau ada yang penuh namun terafiliasi dengan kelompok yang dianggap berbahaya, atau berseberangan dengan kelompok Sunni, misalnya Sayyidah Nushrat Al-Amin seorang mufassir asal Iran yang paling produktif dengan karya tafsir Al-Quran 30 juz mencapai 15 jilid, namun kemudian tidak dipandang oleh kelompok Sunni – tradisional, karena dia seorang ulama besar Syiah.
Setidaknya terdapat tiga penyebab fenomena tersebut; Pertama, para pengkaji tafsir dari kalangan perempuan tidak memiliki waktu yang cukup untuk berkonsentrasi menulis tafsir, karena tradisi domestifikasi perempuan, yang hanya diberi peran sebagai ibu rumah tangga; kedua, kebanyakan para ulama perempuan hanya memiliki ketertarikan bicara (dalam pengajian perempuan) dan mendengar dibanding menulis, itu sebabnya jumlah mufasirah (perempuan ahli tafsir) akan lebih sedikit jika dibanding dengan perempuan ahli hadis, sastrawan, ahli bahasa dan sebagainya; ketiga, seandainyapun ada, tidak banyak orang yang memperhatikan dan mengapresiasi hasil karyanya, karena ditulis oleh perempuan (pandangan bias gender).
Faktor ketiga inilah yang sangat besar pengaruhnya dalam melempemnya kemunculan mufasirah, seandainyapun ada yang mengapresiasi, apresiasi tersebut tidak sebesar yang dilakukan seseorang pengkaji tafsir terhadap tafsir-tafsir yang ditelurkan mufasir, dalam kajian-kajian kita hampir tidak pernah ada ustazah yang mengkaji tafsir dengan menggunakan rujukan mufasirah dan sebagainya, ini berbanding terbalik dengan tafsir-tafsir yang lain yang sudah mulai digaungkan oleh pesantren atau tokoh-tokoh Islam.
Sebenarnya sangat disayangkan jika para mufasir perempuan tidak didukung oleh minimal kalangan perempuan sendiri, dari beberapa tokoh yang ada, ada yang menggunakan pendekatan baru yang bagus untuk dikaji, seperti Aisyah bint Syathi’(Mesir,1913-1998M) yang memadukan metode isyraqi dan ‘aqliy, tafsir yang ditawarkan bercorak adabi bayani, yang dia adopsi dari guru sekaligus suaminya, Prof. Dr. Amin al-Khulli (Mesir,1895-1966M), ada juga yang memiliki latar belakang aktivis organisasi perempuan seperti Zaynab al-Ghazali (Mesir,1917-2005M).
Penafsiran yang dilakukan oleh perempuan setidaknya akan memberikan pandangan dari sisi perempuan yang setidaknya bisa dijadikan titik berfikir bersama, bahwa ada beberapa ayat mengenai perempuan yang harus ditafsir kembali secara objektif, berikut beberapa penafsiran yang akan jarang ditemukan dalam tafsir yang ditulis oleh mufasir, misalnya Zaynab al-Ghazali memantik sebuah problem tentang dua kondisi yang dialami oleh perempuan, hamil dan suaminya meninggal sebelum dia melahirkan hanya berjarak beberapa hari, maka menurut hemat Zaynab al-Ghazali iddahnya sudah selesai dengan proses persalinan, pada saat itu juga perempuan memiliki hak-haknya kembali tanpa ada iddah kembali, pendapat ini beliau sandarkan dengan “hadis Sabi’ah” yang kemudian dijadikan penafsiran ayat:
وَٱلَّذِینَ یُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَیَذَرُونَ أَزۡوَ ٰجࣰا یَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرࣲ وَعَشۡرࣰاۖ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَیۡكُمۡ فِیمَا فَعَلۡنَ فِیۤ أَنفُسِهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِیرࣱ
Jadi setidaknya sebagaimana meminjam judul buku ibu Lies Marcoes, MA. Merebut tafsir, setidaknya perempuanpun harus juga mulai berkonsentrasi menuliskan pemikiran-pemikirannya, dan harus didukung oleh minimal sesama perempuannya, hal yang terjadi selama ini karya-karya yang dihasilkan oleh para mufasirah tidak pernah bertahan lama, atau belum mendapat perhatian banyak, padahal dengan maraknya karya tafsir yang ditulis oleh perempuan akan membuka wacana umat muslim.
Kehadiran mufassirah sangat penting pada zaman sekarang, terutama mereka memiliki peran kunci dalam menjawab kebutuhan pandangan keagamaan di kalangan perempuan. Terlebih realitas masa kini sama sekali berbeda dengan realitas yang menjadi ruang bagi para mufassir laki-laki dulu seperti Ibnu Katsir, Al-Maraghi, maka harusnya komunitas keagamaan saat ini dapat menghadirkan ruang aman dan terbuka bagi perempuan yang telah memiliki kapasitas sebagai penafsir kitab suci. Dengan kapasitas pengetahuan yang sama dengan para ulama laki-laki, maka perempuan juga memiliki otoritas keilmuan yang sama dan sejajar.[]