Saya lahir dan menjalani masa remaja di kawasan lereng gunung Sumbing, kini lebih dikenal dengan sebutan Nepal Van Java. Selepas SD, saya dan beberapa teman di kampung melanjutkan sekolah di sebuah Madrasah Tsanawiyah yang terletak di kecamatan lain di mana kami harus melewati jalan batu agar sampai ke sana. Kawan-kawan di sekolah tidak jarang menyebut kami sebagai ‘Anggun’, singkatan dari anak gunung.
Kami memiliki dialek bahasa Jawa yang sedikit berbeda: lebih medok ketimbang masyarakat pedesaan lainnya, menggunakan kata ‘enyong’ sebagai kata ganti orang pertama, bukan kata ‘aku’ yang bagi kebanyakan orang di desa terdengar lebih keren dan terasa lebih kota. Pelafalan D untuk kata gedang, misalnya, diucapkan dengan menekankan huruf D yang kentara seolah ingin menyemburkan ludah.
Di tengah lingkungan sekolah yang sebenarnya diisi oleh siswa-siswa yang berasal dari desa juga, sebutan anggun dan kekhasan dialek itu seolah ingin mempertegas bahwa kami lebih desa dari yang lain. Pada saat yang sama, banyak orang dari daerah kami yang bekerja sebagai buruh tani dan PRT di rumah-rumah orang kaya di sekitar tempat saya sekolah. Mereka berangkat di pagi hari dan pulang pada sore harinya.
Malangnya, saya, remaja yang sedang mulai bertumbuh, perlahan menyadari dan mengamini kendesoan itu. Ada rasa jengkel dan perasaan seperti direndahkan dengan kata-kata semacam itu, sebenarnya.
Penyebutan, pendefinisian, atau olok-olok seperti sungguh berpotensi merisak harga diri dan martabat seseorang. Apalagi, jika itu ditujukan kepada anak-anak yang hidup di tengah keluarga dengan ekonomi lemah, ia sangat mungkin akan melunturkan kepercayaan diri, membuat minder, dan akhirnya menghambat laju perkembangannya sebagai remaja. Pengalaman seperti ini mengakibatkan munculnya rasa rendah diri atau yang di dalam dunia psikologi disebut dengan inferiority complex.
Kenapa kita lebih memilih mencari perbedaan-perbedaan di antara kita ketimbang kesamaan yang kita miliki sebagai sesama manusia?
Kenapa kita mencela seseorang hanya berdasar pada tempat kelahiran dan dialek bahasa yang itu semua adalah karunia Tuhan yang tidak bisa kita rencanakan sebelumnya?
Kenapa kita menilai seseorang atau sekelompok orang hanya berdasarkan pada cerita tunggal semacam itu?
Chimamanda Ngozi Ditchie, seorang novelis asal Nigeria, mengatakan bahwa cerita tunggal seperti itu membuat kita kesulitan untuk membangun kesetaraan karena lebih menonjolkan perbedaan-perbedaan di antara kita ketimbang persamaan yang dimiliki sebagai sesama manusia. Cerita tunggal menghasilkan stereotip, dan problem dari stereotip bukan terletak pada kebenaran cerita, tetapi ia menyuguhkan sebuah narasi yang tidak lengkap tentang seseorang, tempat, suku, negara maupun agama.
Pembunuhan terhadap Samuel Paty di Perancis beberapa waktu lalu, misalnya, menunjukkan kepada kita bagaimana bahaya dari sebuah cerita tunggal. Di masyarakat Barat, Islam pernah dipersepikan sebagai agama teror, terbelakang, agama para imigran, dan tidak kompatibel dengan demokrasi. Narasi-narasi semacam ini dibentuk untuk pertama kalinya terutama oleh para Orientalis. Semua ini terjadi, tentu saja, berkaitan erat dengan dengan relasi kuasa antara pihak penjajah dan negeri-negeri jajahan mereka. Kekuasaan, seperti yang dikatakan Amamanda, tidak hanya memiliki kemampuan untuk menjelaskan kisah tentang orang lain, tetapi juga menciptakan, membangun persepsi, dan mendefinisikan orang lain.
Ketika membuka cerita-cerita tentang nabi Muhammad, misalnya, saya sungguh tergelitik dengan pendeskripsian para orientalis awal dalam mencitrakan sosok Nabi. Nama Nabi Muhammad, seperti yang ditulis oleh Montgomery Watt, pernah diplesetkan namanya menjadi Mahound, pangeran kegelapan. Pada era berkecamuknya perang Salib, Islam dan pengikutnya dipandang semacam lelucon yang akan berdampak buruk pada moralitas mereka (Watt, 350). Artinya, kamu jangan berdekat-dekatan dengan Islam, apalagi menjadi pengikutnya karena itu akan membahayakanmu!
Di sisi lain, sebagian umat Islam juga memiliki cerita tunggal terhadap Barat. Barat dipersepsikan sebagai sekuler, ateis, dan musuh Islam. Akibatnya, salah satunya, ketika ada orang-orang yang belajar di Barat mereka dipersepsikan sebagai liberalis dan sekuler. Kampus-kampus Islam yang di dalamnya terdapat banyak akademisi lulusan dari Barat dengan mudah dicap sebagai sarang kaum liberal, sekuler dan lainnya.
Sungguh, kita merindukan cerita yang seimbang tentang liyan. Hanya dengan cara ini kita akan semakin merasakan kebenaran firman-Nya bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Tuhannya. Pembeda antara kita tidak lain adalah karena ketakwaannya. Pada titik yang sama kita juga akan tersadar bahwa kualitas seseorang bahkan peradaban tidak hanya diukur dengan kemajuan yang diperolehnya, tetapi bagaimana sikap yang ditunjukkan dalam menghadapi liyan. Bagaimana Anda memperlakukan saya, itulah kualitas Anda!